Syekh Nuruddin al-Raniri, seorang ulama besar asal India yang kemudian menetap di Aceh pada sekitar abad ke-17. Beliau dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di Nusantara, tak terlupakan juga dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kontribusinya yang mendalam dan berkelanjutantelah membentuk wajah pendidikan Islam. membuktikan pentingnya peran ulama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Artikel ini akan membahas kobtribusi al-Raniri terhadap dunia pendidikan Islam Indonesia.
Biografi al-Raniri
Nama lengkapnya Nuruddin Muhammad Ibn Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Hamid al-Raniri al-Quraisy. Diperkirakan ia lahir pada akhir abad ke-16 M di Kota Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat-India. Ibunya seorang keturunan Melayu dan ayahnya seorang imigran Hadaralmaut, Yaman.
Beliau datang ke Aceh pada tahun 1637 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan diangkat menjadi penasihat kesultanan Aceh. Ini merupakan kedatangan kedua kali al-Raniri, setelah kedatangannya yang pertamanya ia tidak diterima dengan baik oleh masyarakah Aceh. Hal ini karena pada kedatangannya yang pertama ajaran Wujudiyah Hamzah Fansuri begitu kuat dan menjadi anutan resmi Kesultanan Darussalam Aceh.
Al-Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanus Salatin". sebuah ensiklopedia yang menggabungkan sejarah, etika, dan ajaran Islam. Beliau wafat pada 21 September 1658 M.
Kontribusinya terhadap Pendidikan
Kontribusi al-Raniri yang pertama adalah pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang komprehensif, mencakup lima bidang ilmu utama diantaranya, Al-Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan Tarekat. Kurikulum ini menjadi acuan bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, kurikulm ini mencakup ilmu-ilmu yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga mengembangkan kemampuan dan kesadaran pemahaman tentang Islam di kalangan masyarakat.
Yang kedua, pengembangan metode pembelajaran yang efektif berupa diskusi, debat, dan penulisan. Metode ini efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan menganalisis, dan kemampuan berkomunikasi. Dan juga menjadi kunci untuk membangun generasi cerdas dan inovatif.
Yang ketiga, kontribusinya yang paling berdampak adalah pengajaran tasawuf sebagai bagian integral dari pendidikan Islam. Dengan mempelajari tasawuf, dapat meningkatkan kesadaran spiritualnya melalui pemahaman hubungan dengan Allah SWT. Selain itu, tasawuf juga mengembangkan akhlak mulia seperti kejujuran, kesabaran dan kasih sayang. Hal ini membantu membentuk generasi yang memiliki kepribadian yang baik dengan mengembangkan kesadaran diri dan kontrol emosi.
Selain itu, al-Raniri juga berperan sebagai pendidik dan pembimbing. Ia mendirikan madrasah di Aceh, yang menjadi pusat pendidikan Islam di Nusantara dan juga melahirkan generasi pemimpin islam yang cerdas dan berakhlak. Salah satu muridnya yaitu Syekh Abdurrauf Singkil, menjadi ulama terkemuka di Indonesia.