Dari malam hingga matahari kembali, hari demi hari, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Manusia disibukkan dengan mengangkut sampah kian menumpuk, mereka yang membersihkan dan mencari jenis sampah untuk dijual diseluruh sudut kota. Air keringat dan matahari panas yang mereka rasakan. Tugasnya semakin hari semakin berat. Mengeluh bagi mereka adalah suatu hal yang terbelakang. Pada setiap sudut kota, sampah dan limbah selalu menumpuk. Kapasitasnya melebihi dari berserakan dan menumpuk waktu ke waktu. Baunya pun sungguh menyengat. Tapi dibalik itu, ada mereka yang membersihkan sampah dan memilah-milih jenis sampah yang akan dijual. Ketika manusia tidak membuang sampah pada tempatnya, lihatlah mereka dengan susah payahnya rela pakaiannya bau, merasa lelah, keringat bercucuran, berjalan dari tiang satu ke tiang lainnya. Gajinya tidak seberapa, menafkahi keluarganya pun pas-pasan. Hanya mereka yang terpilih melakukan tugas seperti ini, namun sangat mulia. Kepentingan orang banyak lebih penting, sampai memikirkan diri mereka kalau sedang ingat saja. Mereka sanggup melakukan dengan ketulusan dan keikhlasan hati. Tanpa peduli siang, malam, rintik hujan hingga panas, tugas itu tetap harus diselesaikan. Banyaknya manusia merasa yang mereka kerjakan ialah "menjijikan". Baunya yang menyengat, hampir membuat perut merasa mual dan tidak kuat berlama-lama. Untuk mereka, aroma bau menyengat itu sudah menjadi sehari-hari, demi menjauhkan penyakit dari masyarakat. Namun, masih saja manusia yang tidak memandang mereka, dengan membuang sampah ke saluran air, sungai bahkan sempat membuangnya dijalan. Adanya tulisan "Jangan Membuang Sampah Sembarangan" seperti sudah tidak didengar lagi, dilakukan pun terkesan sulit, padahal hanya sebatas sampah.Sampah banyak terjadi pada pemukiman, sungai, dan gedung-gedung yang menghasilkan limpahan limbah. Khususnya kota DKI Jakarta yang kini menyambut pergantian tahun baru dengan sampah yang mencapai 3,2 Ton. Itu pun sudah terjadi pengurangan sampah tahun demi tahun. Jenis dan macam-macam sampah menjadi satu kesatuan, mulai sampah plastik, sampah kering, sampah basah, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah yang tidak dapat didaur ulang. Kesadaran manusia akan hal ini sungguh memprihatinkan, berlaku seenaknya, sehingga menilai bahwa sampah perkaran mudah. Dengan disediakannya berpuluh-puluh bak sampah, dari ukuran kecil hingga terlihat jelas oleh bola mata, tanpa disadari membuang sampah pada tempatnya dapat sedikit membantu tugas mereka yang begitu berat menjadi begitu ringan. Hanya membuang sampah pada tempatnya, dan itulah yang diharapkan dari mereka. Bagaimana pun pekerjaan mereka, ekonomi mereka, keluarga mereka, kehidupan mereka, mereka hanya berusaha keras bertahan untuk hidup. Sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah, tanggung jawab dan peran mereka sungguhlah besar dalam keluarga kecilnya. Apapun akan mereka lakukan, akan mereka korbankan, akan mereka berikan sepenuh hidup dan matinya. Sebab itulah, mereka memiliki rasa ketulusan dan keikhlasan hati yang besar, juga tak lupa bersyukur dan mengangkat kedua tangan mereka. Membangun kehidupan mereka sendiri tanpa menjadi kehidupan orang lain Tak sedikit pun raut sedih diwajahnya, memberikan senyum ramah selalu diperlihatkan. Meminta rasa belas kasihan pun tak pernah dilakukan. Menjalani hari-hari dengan sepenuh hatinya dan penuh semangat. Bekerja dengan yakin dan sungguh-sungguh, walaupun dipandang orang lain, pekerjaan itu dianggap rendah. Namun, baginya apapun dan bagaimana pun pekerjaannya, keadaannya tetap harus di jalankan sebaik-baiknya. Tepat pukul 04.00 pagi, ia terbangun dan bergegas untuk bekerja dengan kerasnya demi keluarganya dan kelangsungan hidupnya. Tiba adzan berkumandang, ia tidak lupa melakukan kewajibannya yaitu beribadah, juga selalu mengucapkan rasa syukur atas hari ini dan esok. Herudini, seorang suami sekaligus sebagai seorang ayah dari 3 orang anak yang merupakan seorang perantau dari Sukabumi ke kota Jakarta. Saat ini, usianya sudah 40 tahun , yakni berkepala empat dengan status pekerjaan sebagai tukang sampah dan mencari jenis sampah untuk dijual.Heru dengan penuh yakin dan semangat, melakukan perjalanan dari Sukabumi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, dan berharap pekerjaannya itu sebuah jalan hidup kedepannya. Dengan keteguhan hati, muncul rasa kenyamanan saat ia bekerja sebagai tukang sampah. Tujuannya tidak banyak, ia hanya ingin niat mencari pekerjaan sebagaimana kewajibannya untuk menafkahi keluarganya. Saat matahari terbit, heru melakukan aksinya di kota Jakarta, di salah satu Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang berlokasi di Kalibata. Setiap hari tanpa adanya hari libur sejenak baginya, hanya untuk mendapat uang dan diberikan kepada keluarganya dikampung. Heru bekerja dari matahari terbit hingga terbenam, mencari jenis sampah yang akan dijual olehnya. Biasanya sampah yang sudah dikumpulkan, akan ia bawa ke lapak terdekat yang menerima jenis sampah tersebut. Setelah itu, heru baru mendapatkan uang dari hasil kumpulan sampah yang ia bawa ke lapak. Jenis sampah atau barang bekas yang di bawa oleh heru tidak hanya satu atau dua, melainkan lebih banyak, misalnya sampah atau barang bekas seperti kardus, kaleng, botol-botol, besi, kertas, yang bisa ia tukar dengan sejumlah uang. Harga per jenis sampah atau barang bekasnya pun berbeda-beda, seperti harga kaleng yaitu Rp 1.200-, harga botol Rp 1.500-, harga kardus Rp 1.200-, sehingga semakin banyak jenis sampah yang ia kumpulkan, maka semakin besar jumlah uang yang ia dapatkan. Jumlah uang yang heru dapatkan selama ia mengumpulkan sampah, terkadang masih belum mencukupi kebutuhannya dan keluarganya. Namun, berapa saja jumlah uang yang diterimanya, ia tetap merasa bersyukur bisa memberikannya pada keluarganya walaupun hanya sedikit. "Saya mah paling dapet ya sehari lima puluh ribu, kadang cuma seratus ribu itu juga keluarga dikampung, tapi ya dicukup-cukupin aja." tutur Heru. Rasa nyaman dan senang dirasakan oleh Heru selama ia bekerja sebagai tukang sampah, pekerjaan seperti apapun selama menghasilkan uang dengan halal, ia akan lakukan demi keluarganya dan bisa membiayai sekolah anak-anaknya. Bersyukur selalu ia terapkan apapun yang terjadi kepadanya, tanpa mengeluh dan tanpa menyulitkan orang lain. Bagi heru, anggapan orang lain tentang kehidupannya, mengapa ia mau bekerja sebagai tukang sampah? Dengan raut wajah senyum, "Alhamdulillah rejeki saya kerja kaya gini, saya bersyukur, sudah pilihan saya kerja disini." tutur Heru. Pandangan orang lain terhadapnya, tidak mematahkan keyakinan dan semangatnya untuk melanjutkan hidup. Ia merasakan bekerja seperti ini sudah lebih dari cukup, juga sebagai sebuah rezeki yang harus ia syukuri dan dijalani dengan baik. Suka dan duka pasti ia alami waktu ke waktu, sepuluh tahun ia bekerja sebagai tukang sampah. Masa kesulitan baginya menjadi pelajaran dan menjadi cermin, bahwa keterbatasan bukanlah sebagai penghalang untuk senantiasa mengucap syukur. Tidak ada rasa malu yang ia tonjolkan dalam menjalankan kehidupan dan pekerjaannya. Heru percaya, inilah rezeki dan nikmat yang Allah kasih kepadanya, dengan selalu bersyukur, selalu menjalankan ibadah dan dapat menjadi seorang suami juga ayah yang dapat membahagiakan keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H