Lihat ke Halaman Asli

Saat Kau Membuat Pesta Terbaik yang Takkan Kau Hadiri

Diperbarui: 6 Maret 2017   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selamat hari Senin. Selamat hari Selasa. Selamat hari Rabu. Begitu seterusnya. Perempuan bertubuh mungil itu meletakkan kepalanya di meja. Tangan kanannya terlipat menahan agar kepalanya tidak menyentuh meja kayu yang keras secara langsung. Tangan kirinya yang mengenggam secarik kertas terkulai ke depan tanpa daya.

Perempuan itu menghela napas berkali-kali tapi tak kunjung mengangkat kepalanya. Ia tampak seperti sedang mencari jawaban atas suatu pertanyaan tapi tak segera menemukannya. Ia tampak lelah dan kusut. Gelas berisi kopi dingin yang mengembun di bagian luarnya semakin lama semakin cair es batunya; membuat kopinya meluber dan membuat tanda basah di sekitar gelas.

Hari, rapalnya tanpa mengangkat kepala. Mengapa diantara tiga ratus enam puluh lima harii harus ada beberapa yang diistimewakan? Kenapa bahkan harus ada hari lahir? Kenapa bahkan hari itu dianggap begitu mistik dan sakral sehingga harus dirayakan setiap tahunnya?

Dia sama sekali tak sedang menyesali keberadaannya di dunia ini atau bagaimana dia mewujud sebagai manusia dan menjadi bagian dari semesta. Tidak. Sejujurnya, dia mensyukurinya. Bahkan dia mensyukuri kehidupannya lebih dari siapa pun atau apa pun. Itulah mengapa ia begitu membenci perayaan hari-hari tertentu. Mempersiapkan diri selama berbulan-bulan untuk membuat pesta ulang tahun ketujuh belas? Itu hal terbodoh yang pernah ditemuinya dan masih dilangsungkan smpai sekarang oleh orang-orang yang dikenalnya—bahkan mengundangnya!

Bukankah seharusnya orang mensyukuri setiaphari yang dimilikinya? Siapa yang pernah menjamin seseorang akan berumur tujuh belas tahun lebih? Bagaimana jika enam belas tahun lebih sebelas bulan dan dua puluh sembilan hari? Ia selalu membayangkan seseorang yang mempersiapkan pesta untuk dirinya sendiri yang bahkan takkan dihadirinya.

Perempuan itu merapal satu puisi ciptaan rekan seusianya, “Tetesan itu / tak / tergantung di sana.”

Perempuan itu mengangkat kepalanya dan aku segera tahu siapa dia: Harper Lee yang sangat kucintai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline