Lihat ke Halaman Asli

Agama(mu) atau Entahlah

Diperbarui: 11 September 2016   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku beragama!” Otot-otot lehernya terlihat. Mukanya merah sampai ke leher. Matanya seperti hendak melompat keluar. Telinganya panas. Aura tidak enak dan penuh akan kebencian menguar di udara. Hal busuk apa yang kira-kira menyebabkan semua ini, tidak seorangpun berani menjawab. Beberapa tahu jawabannya, tapi enggan bersuara.

Seorang di depannya tersenyum. Ia menyeringai. “Aku percaya.”

Dia melihat dari ujung kepala ke jari-jari, lalu kembali naik ke kepala. Badannya mengalami tremor ringan akibat amarah dan kebencian yang mengambil alih jiwanya. Wajah orang di depannya yang serupa kepiting rebus itu justru memancing gelak tawa yang tiada bisa mereda baginya.

“Hei, Aku, saya harus pergi.”

“Enak saja Kamu!” Aku geram sekali. Dia menyingsingkan lengan kanan dan kirinya. Tapi manusia di depannya bahkan tak bergerak. “Sini, kita debatkan lagi agamamu itu. Agama sesat yang dibawa setan itu!”

“Dari perspektif mana Anda memandang sesat agama saya, Aku?” Tanyanya dengan tenang. Senyumnya tipis saja menyiratkan kebijaksanaan yang hakiki. “Dari agama(mu)?”

“Dengar, ya, Kamu!” Aku terengah. “Agamamu itu sesat! Jahil! Kamu itu harus mau kalau sedang diceramahi! Dengarkan, Kamu!”

Kamu sekali lagi tertawa.

“Aku yang baik budi. Sungguh. Pembaca akan tahu dengan mudah—tanpa analisa atau hal-hal rumit lainnya—alasan mengapa Anda bernama Aku dan aku bernama Kamu. Mengapa pula Anda digambarkan beragama paling benar sedang aku hanya mengumbar tawa sebagai tanggapan. Bahkan sekalipun mereka tidak tahu apakah aku beragama juga atau tidak.”

Aku tertegun. Ia tercekat. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi tak tahu apa itu. Kata-katanya hilang dan menguap seperti proses evaporasi. Absolut, pasti. Mengendapkan entah apa entah di mana. Aku mual. Aku merasa tubuhnya limbung.

Gelap. Cerita hampir selesai. Pengarang berharap begitu. Tapi Aku rupanya masih membuka matanya. Ia limbung dan hilang kesadaran, tapi matanya tak terpejam. Kamu berjalan mendekat. Ia mengulurkan tangannya pada Aku. Lalu, apa yang sudah bisa dibayangkan pembaca benar-benar terjadi. Pengarang berharap tak harus menjelaskan tentang apa itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline