Lihat ke Halaman Asli

[RINDU] Tanpa Judul

Diperbarui: 7 September 2016   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sara duduk. Kursinya memiliki pegangan di belakang, dan itu membosankan. Sara hanya diam. Matanya mengerjap untuk meluruhkan air mata. Katanya cinta tak menyediakan air mata, dan kasih sayang tak mengikutsertakan harapan. Bohong; keduanya berada di tempat yang sama dan meninggali hati yang sama pula.

Napasnya tertahan oleh isak. Entah bagaimana rasanya begitu berat untuk sekedar memikirkan segala sesuatunya. Ia bahkan hampir tidak menyadari apa yang sedang dipikirkannya sendiri. Dirinya hilang, melebur jadi satu dengan angan. Angan siapa? Lagi-lagi ia tak tahu.

Dinding putih membisu. Ruang kosong tidak meraung. Hati Sara pun tidak, meski sangat ingin. Lamat-lamat pandangannya berpindah ke luar jendela. Sebatang besar pohon randu yang akarnya menjulur-julur dari atas tampak gagah betul. Cahaya matahari yang menyusupi matanya lewat celah-celah daun yang tua membagikan sedikit ketenangan. Tapi agaknya, ketenangan itu hanya omong kosong di siang bolong bagi Sara.

Perempuan itu melihat dirinya sendiri dengan tubuhnya beberapa tahun lalu, sedang berlari dan tertawa begitu kencang dan lepas. Kebahagiaan yang tak dapat direkam kamera sekalipun. Perasaan membuncah yang tak dapat dijelaskan penulis andal sekalipun.

Dibelakangnya ada anak laki-laki berumur dua tahun lebih tua darinya mengejar. Ia tampak marah. Wajahnya kesal. Ia mengacung-acungkan tamiya rusak dengan tangan kanannya.

Duduk tak jauh dari mereka berdua, seorang ayah dan ibu. Berdua, tidak begitu memperhatikan anak-anaknya. Seperti baru kali itu saja pergi bulan madu. Seperti tak akan ada hari lain di mana mereka bisa menikmati waktu bersama. Keduanya berbincang hangat tentang hal yang tak bisa didengar Sara. Keduanya memegang telinga cangkir hati-hati. Keduanya tertawa. Lalu salah seorang berbicara dan yang lain mendengarkan. Lalu tertawa lagi. Satu tawa kadang tampak lebih lama dibanding lainnya.

Sara merasa seperti sedang melihat film bisu dengan warna. Bukan hitam-putih yang menjemukan, tapi warna-warna terang yang menyilaukan.

Ia mengalihkan lagi pandangannya ke bawah. Ia melihat kakinya sendiri. Digerak-gerakkannya kedua kaki yang ringkih itu. Lalu ia melihat sekeliling dan mendapati lukisan dan potret menggantung di dinding. Bau kue kering mentega mulai tercium samar-samar. Teriakan kakak laki-lakinya terdengar pelan. Dan semuanya menjadi semakin jelas. Semakin jelas.

Sara menangis. Satu persatu titik air mata tumpah. Mengapa ia harus sadar bahwa seluruh indranya berbohong? Ia menginginkan banyak hal kembali terjadi. Perasaan itu mengganggunya! Perasaan itu menjadi kutukan tak terpatahkan! Perasaan yang ia tidak tahu namanya itu bahkan membiarkan kisah singkatnya sendiri tak berjudul.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline