Di usia 23 tahun ini, banyak sekali hal-hal yang harus ku perhatikan dan semakin kompleks. Mulai dari menentukan perjalanan selanjutnya, menyambung pendidikan lagi atau memulai karir, menikmati dan mengeksplor passion dan mulai terpikir tentang pernikahan.
Bahasan kali ini terfokus pada tentang pernikahan. Sepanjang tahun akhir 2018 sampai 2019 ini, sudah banyak sekali mendapat kabar dan undangan teman-teman yang akan menikah. Sejauh ini memang nggak ada pikiran yang gimana-gimana, nggak ada pikiran "aku kapan ya?"sambil meratap nasib, sejauh ini belum ada dan ikut berbahagia dengan kabar bahagia mereka.
Aku sering bertanya kepada teman-teman yang sudah menikah, "kenapa kamu yakin sama dia?". Pertanyaan itu selalu menjadi pertanyaan pertama yang aku tanyakan dan tentunya setelah memberi selamat dan mendoakan kebaikan untuk teman-teman tersebut. Jawabannya beragam. Ada yang yakin karena memang sudah lama berpacaran, dan banyak hal lain yang mempengaruhi keyakinan mereka untuk memutuskan seseorang yang semulanya asing dan menjadikannya pasangan.
Selain kabar bahagia, ada juga kabar-kabar yang kurang menyenangkan yang ku dapatkan. Misalnya seseorang yang memutuskan tidak mau menikah karena trauma dengan pernikahan orang tuanya, ada juga yang mengabarkan kalau ia ingin bercerai, dan ada juga yang terang-terangan memberitahu dia telah bercerai berikut dengan alasannya. Tentu hal-hal seperti ini pasti menimbulkan pertanyaan besar di kepalaku.
Tentang mengapa bisa memutuskan bercerai, padahal dulu saling mencintai. Apa cinta ada durasi nya?, kalau cinta berdurasi, apa kabarnya kakek-nenek kita yang sudah menikah puluhan tahun dan tetap bersama hingga tua?. Bagaimana agar tidak salah pilih pasangan?, pokoknya banyak pertanyaan yang bermunculan.
Belum lagi melihat fenomena nikah muda, apa mereka benar-benar sudah teredukasi atau hanya terkena provokasi?. Nah kalau yang ini orang lain nggak bisa nge-judge, hanya bisa dirasakan oleh yang menjalaninya langsung.
Berbicara tentang provokasi atau edukasi, dulu awal gerakan nikah muda ini booming, banyak sekali gerakan-gerakan yang muncul untuk mendukung nikah muda. Kalau dibilang salah sih, enggak. Tapi ada beberapa dan nampaknya banyak yang hanya menebar provokasi tanpa adanya edukasi. Misalnya mengunggah foto mesra pasangan muda tanpa menghadirkan caption atau keterangan yang memberitahu persiapan nya.
Hasilnya adalah, timbullah slogan hijrah, nikah, berkah atau sebagainya. Jadi orang "hijrah" motivasi selanjutnya bukan lagi dakwah, tapi nikah. Dengan mengunggah foto dengan hijab syar'i dan caption "akhi, take me to Jannah. Untungnya sekarang sudah banyak juga gerakan yang berujuan edukasi tentang menikah. Contohnya kalau di Jogja, ada Teh Bunga Erlita yang kalau ikut kelasnya, dijamin nggak bakalan baper. Tidak bakalan. Karena disana yang dipaparkan ke kita bukan hanya angan-angan bahagia saja, tapi juga realita. Jadi lebih memikirkan persiapan daripada sibuk membangun angan.
Nikah muda sudah ada sejak dari zaman dulu, bedanya dulu ada persiapan nya. Kakek-nenek kita sudah dididik dan di persiapkan orang tuanya untuk menikah. Persiapan nya sesederhana mulai tanggung jawab dengan pekerjaan rumah, memasak, dan menjaga adik bagi perempuan, dan ikut bekerja keras, bagi yang laki-laki. Mengutip dari ceramahnya ibu Elly Risman, generasi mereka dulu lupa mempersiapkan anaknya untuk menjadi suami, istri, dan orang tua, dan lebih fokus pada menjadi ini dan menjadi itu. Tentu ya tidak semua, dan buktinya masih ada yang sukses kedua-duanya.
Kembali ke pertanyaan awal, tentang mengapa bisa memutuskan bercerai, padahal dulu saling mencintai. Apa cinta ada durasi nya?, kalau cinta berdurasi, apa kabarnya kakek nenek kita yang sudah menikah puluhan tahun dan tetap bersama hingga tua?. Bagaimana agar tidak salah pilih pasangan?.