Pukul 19.00 wib seperti biasa aku menunggu kepulangan ayah dari kantornya. Di salah satu spot yang disukainya yaitu teras rumah dengan berlatarkan cahaya lampu pinggir jalan perkampungan. Sambil menonton film kesukaanku di salah satu aplikasi berbayar Disney Hotstar yang kubeli patungan dengan adikku setiap bulannya. judul film yang sangat senang kutonton belakangan ini adalah Grey's Anatomy yang bercerita tentang dunia kedokteran yang dulu sangat ku idam-idamkan sejak kecil. Namun, sayangnya tak bisa kuraih karena saat sekolah menengah justru memilih ilmu sosial bukan ilmu sains. Miris. Sambil menonton, sambil kudengar suara anak-anak kecil yang sedang bermain mengingatkanku pada masa kecil, di mana saat itu adalah masa-masa yang sangat menggembirakan. Tak ada kata takut untuk melakukan sesuatu, tak ada rasa sesak nafas karena lelah mengejar deadline tugas, tak ada tangisan juga luka hati dan fisik bekas melukai diri sendiri atau perasaan kecewa karena seseorang.
Semilir angin malam sangat menyejukkan pikiran dan raga. Sangat nyaman hingga ingin tidur di teras. Sesekali keluar pagar untuk melihat anak-anak bermain dan ikut tertawa mendengar lelucon kecil mereka. Sambil membayangkan "ah rasanya begini melihat anak-anak kecil bermain, berlari, petak umpet dan segala macam permainan mereka lakukan selagi belum dipanggil orang tua mereka." Fokusku terpecah kala ada seorang anak yang tiba-tiba menangis karena dipukul dan diejek temannya. Menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya yang ringan tanpa alas kaki. terbesit di pikiranku bahwa dia lucu sekali kalau menangis. Bukannya membantu malah justru aku menggoda anak itu. Haha dasar.
Kembali ke teras rumah, menutup pagar, dan melanjutkan aktivitasku menonton film. Aku termangu dengan salah satu monolog pemeran utamanya yang membahas tentang kematian. Sangat mengerikan pikirku. Manusia bisa mati kapan saja dengan kondisi yang beragam. entahlah tertusuk batang pohon yang besar, tertabrak sebuah truk di tengah hutan, dan lain sebagainya. Meskipun agak samar aku memahaminya, tapi maknanya cukup dalam kurasa. "Dalam menjalankan profesi, terutama dokter bedah, kalian harus menjaga wajah tetap datar untuk menyampaikan pesan duka kepada keluarga pasien yang meninggal saat perawatan atau di tengah operasi berlangsung." Sangat sedih saat melihat adegan di mana keluarga pasien yang diberi kabar bahwa salah satu anggota keluarganya meninggal di tengah meja operasi.
Tak lama ayahku datang, menggunakan sepeda motor vario hitamnya, jaket biru angkatanku dulu saat masih di sastra jepang, sepatu hitam dan tak lupa masker karena pandemi covid. Segera kubukakan pagar hitam dan ibuku menyiapkan minuman dan makanan lalu dibawanya ke teras. Dalam hati "alhamdulillah ayah pulang dengan selamat." Kulihat wajahnya yang lelah, sesekali menghela nafas beratnya sambil mencopot baju, celana panjang, dan sepatunya di teras. Lucu sih tapi kan cowok bebas hehe. Sesekali aku mengajaknya berbicara tentang adik atau ibuku yang kadang bertengkar karena hal sepele seperti adikku yang tak mau berangkat les dan berakhirlah dengan saling diam dan aku mengaduh pada ayah. Dan segera beliau menjawab seadanya "halah biar nanti juga sembuh kok." Diam, canggung hingga ibuku keluar dengan segelas teh hangat dan sepiring kue. Kadang aku yang membuat teh jika ibuku malas untuk beranjak dari sinetron kesayangannya.
Seperti biasa, saat sudah berkumpul bertiga, aku, ibu, dan ayah, ayah yang mulai membuka percakapan ringan dengan bagaimana tadi siang hujan tidak atau hal-hal sepele seperti di mana adikmu saat dia tidak ikut berkumpul di teras. Kemudian dilanjut dengan ibuku yang bercerita mengenai kedua anaknya yang terkadang nakal dan aku hanya tertawa saat mendengarnya. Ayahku hanya mendengarkan saja sambil sesekali melamun karena masih terpikir olehnya tekanan pekerjaan yang mengganjal. Ibuku lanjut lagi dengan bertanya mengenai pekerjaan ayahku yang kian hari kian berat dirasa. "Ah andaikan aku ada diposisinya mungkin aku akan berontak dan menangis meraung mengadu ke ibuku betapa beratnya pekerjaan yang kupanggul" tapi semua itu bukan aku yang merasakan hal itu. Ayahku sosok yang pendiam, bukan pelit bicara namun baginya jika tidak ada yang perlu dibicarakan lebih baik diam dan berzikir dalam hati. Jika dirasanya berat beban pikirannya, beliau akan membagi kisah kesehariannya dengan wajah datar. Sesekali kulirik wajah lelahnya yang bersandar pada tembok kuning dengan kacamata kotaknya menggantung di hidung mancungnya. Tak tega, aku mengalihkan pandanganku ke layar datar di genggamanku.
"Hari ini sangat melelahkan, audit terus-terusan, chef dari corporate terus-terusan mengomel meminta dibuatkan makanan yang sangat tidak masuk akal pedasnya. Aku cuma membatin dalam hati 'kalau orang ini sakit bagaimana ya, perutnya sudah buncit begitu, makan masakan yang pedasnya di luar kepala, belum lagi dia alkoholic' aku yang mencobanya dengan jari telunjuk saja sudah sakit perut sampai sekarang, lalu dia bagaimana ya."
"Semenjak pindah pimpinan, mau ambil hari libur akhir pekan saja susah sekali, GM ada saja alasannya, yang harus ke luar kota lah buat meeting, ikut event dari hotel lain, capek rasanya, tapi kalau tidak begitu bagaimana menjalani hidup kedepannya, hah.. kalau bisa resign sudah kulakukan sekarang, namun untuk mendapatkan pekerjaan juga susah saat ini."
Ibuku hanya bisa membalasnya dengan helaan nafas dan menunjukkan raut wajah sedih lalu dibalasnya dengan beberapa kalimat,"ya mau bagaimana lagi dijalani saja, hutang juga belum lunas dibayar."
"Ya sudah aku bacakan sholawat saja kalau-kalau Allah membantu meringankan pekerjaanku selagi aku bekerja dengan tekanan yang berat ini."
Aku hanya bisa diam sambil mendengarkan percakapan kedua orang tuaku yang tiada hentinya, sambil membatin "andaikan aku sudah bekerja, pasti keadaannya lebih ringan dari sekarang."
Cerita pukul 20.30 ini mengalir mulus, sesekali diam menikmati angin malam dengan memandangi lampu jalan yang dirayapi binatang kecil, menepuk nyamuk yang menggigiti kaki, menggaruk tangan dan kaki yang gatal,ayah yang sesekali menguap karena mengantuk, berbisik pelan takut-takut kalau tetangga mendengar cerita ringan aku, ibu, dan ayah. Indah. Seakan aku tidak ingin meninggalkan momen ini, takut kalau hal yang tak kuinginkan terjadi dan ini tak akan menjadi kebiasaan kami. Ya Tuhan takut, pasti, tak ada yang tau kelanjutan cerita hidup seperti apa. Maka dari itu aku berusaha bersyukur selagi bisa berbagi kisah dengan kedua orang tuaku, akan kusempatkan, tak akan kubiarkan suatu hal menghalangi momen manis kami.