Lihat ke Halaman Asli

Annisa Nurizky

Sharing Content

PROSES PERUMUSAN RUU CIPTAKER DALAM PERSPEKTIF PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT BANGSA INDONESIA

Diperbarui: 26 November 2020   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Tahun 2020 merupakan tahun yang penuh dengan kejutan bagi bangsa Indonesia karena banyak kejadian yang tidak disangka-sangka terjadi di tahun kembar ini. Mulai dari wabah corona, bencana alam, pembubaran KPK, konspirasi, hingga kehadiran omnibus law yang membuat masyarakat Indonesia menjadi terpuruk. Peristiwa yang masih hangat dibicarakan publik adalah tentang perancangannya yang dinilai tidak demokratis dan tidak transparan.


Omnibus Law merupakan Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk mencabut, menambah, dan mengubah beberapa UU sekaligus menjadi lebih sederhana. Kata ‘omnibus’ berasal dari bahasa Latin, yang berarti ‘untuk semua’. Artinya, omnibus bersifat lintas sektor atau dapat disebut dengan UU sapu jagat.


UU Cipta Kerja merupakan upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan usaha, peningkatan ekosistem investasi dan percepatan proyek strategis nasional. UU Cipta Kerja atau disingkat UU Ciptaker juga  merupakan bagian dari Omnibus Law.


Rancangan dari UU Ciptaker ternyata menimbulkan kontroversi sejak awal pembahasan lantaran dianggap merugikan para pekerja atau buruh dan hanya mementingkan pemberi kerja atau investor. Selain itu, RUU Ciptaker ini juga dikecam keras oleh para ahli politik karena dipandang tidak transparan dan tidak sesuai dengan asas-asas yang berlaku sehingga disebut sebagai “RUU Hantu”. Untuk memahami dan menilai fenomena ini, saya menuliskan tentang bagaimana proses perumusan RUU Ciptaker jika dipandang dari sudut pandang pancasila sebagai sistem filsafat bangsa Indonesia.


Pembentukan UU


Menurut pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan proses pembentukan UU juga diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perubahannya.
Berdasarkan pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 menetapkan asas-asas yang harus dilaksanakan, yaitu demokrasi dan negara hukum. Jika disimpulkan, maka penyelenggaraan negara Indonesia harus didasarkan pada hukum yang demokratis.


Prosedur perumusan undang-undang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Hal penting yang diatur dalam UU tersebut adalah “Keterbukaan” yang menjadi salah satu asas pembentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 5. 

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan  Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi:  


a. kejelasan tujuan;  
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;  
d. dapat dilaksanakan;  
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;  
f. kejelasan rumusan; dan  
g. keterbukaan.


Sedangkan dalam pasal 96 mengatur partisipasi masyarakat, yang artinya masyarakat memiliki hak untuk memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Adapun isi dari pasal UU No.12 Tahun 2011 Pasal 96 adalah :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline