Sebutan sebagai gementee terindah di Jawa Tengah ditujukan pada sebuah kota kecil yang terletak 49 km dari selatan Kota Semarang, yakni Kota Salatiga. Gementee merupakan suatu status yang pernah diberikan oleh orang Belanda yang menetapkan Salatiga sebagai suatu Kotapraja. Tak heran jika orang bertanya-tanya ketika melihat peta Salatiga yang seolah seperti pulau yang dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. Salatiga seolah berdiri sebagai kota 'merdeka' yang memiliki keistimewaan tersendiri.
[caption id="attachment_292321" align="aligncenter" width="424" caption="Peta Administrasi Kota Salatiga (Source: Google Map)"][/caption]
Salatiga memang pernah menjadi kota favorit bangsa Eropa di masa kolonialisme untuk tinggal. Letaknya di ketinggian 750-850 mdpl dan rangkaian pegunungan yang mengitarinya membuat udara di kota ini cenderung sejuk. Latar belakang pegunungan dan udara yang sejuk merupakan tempat peristirahatan yang sangat ideal bagi penduduk Eropa pada masa itu.
Tapi, itu dulu. Roy Marten (artis ibukota) yang menghabiskan masa kecilnya tinggal di Salatiga, mengungkapkan kerinduannya akan kampung halaman yang pernah membesarkannya.
Ketoke gek wingi yo golek kenari, bal-balan, ngoyak layangan
Ketoke wingi yo mbludus nang Reksa, jajan ngabuk, gelutan
Ketoke gek wingi yo Maryuni, Min Kebo, Mbok Nyai wira-wiri
Ketoke gek wingi yo dolan nang Tamansari, mbolos sekolah, ngoyak-oyak Noni-noni
Puluhan tahun kalender Solotigoku wis berubah
Senjoyo, Kalitaman, lan Muncul mbiyen banyune bening melimpah turah-turah nanging saiki wis meh garing
Kenari lan mahoni ditegori diganti ruko
Solotigoku dadi panas, sumuk!
Aku nangis…
Nanem kenari butuh wektu puluhan tahun, mbangun ruko ora nganti setahun
Apa ora bisa mbangun tanpa ngrusak ekosistem?
Aku kok kangen karo Solotigoku sing mbiyen
Aku kangen karo ndesoku sing tak tergantikan
(Roy Marten, Agustus 2007 dikutip dari Buku Salatiga Sketsa Kota Lama)
Barisan prakata tersebut lebih terlihat sebagai ungkapan kesedihan Roy Marten terhadap kampung halamannya, yang kini cenderung mengarah ke modernisasi. Rasa sedih dan kecewa yang diungkapkan oleh Roy Marten di atas ternyata juga saya rasakan, sebagai seorang yang lahir dan juga tinggal di Kota Salatiga. Sebagai seorang mahasiswa perantauan dari Salatiga, kerinduan yang sama juga saya rasakan setiap kali pulang kampung.
Tanpa pilih kasih, dampak globalisasi juga memerawani kampung halaman saya ini. Demand terhadap sektor-sektor perekonomian yang tinggi memoles Salatiga menjadi kota berwajah 1000 ruko. Pusat-pusat ritel dan komersial giat dibangun tanpa rasa takut jika suatu ketika kesederhanaan dan keindahan kota ini terengut. Pernah suatu ketika saya membayangkan jika saya harus menginjakkan kaki keluar dari Salatiga untuk waktu yang lama, dan ketika kembali saya sudah tak mengenali kampung halaman sendiri. Dimana Gunung Merbabu yang menjadi background sekaligus landmark kota? Dimana barisan pohon mahoni yang berjajar sepanjang jalan-jalan kota? Mengapa semuanya berubah menjadi deretan beton raksasa yang menjulang menutupi gunung kebanggannku?
[caption id="attachment_292332" align="aligncenter" width="401" caption="Gambar ini diambil dari salah satu sudut alun-alun Pancasila Salatiga. Semula dari alun-alun kita dapat melihat megahnya Gunung Merbabu sebagai landmark, namun kemudian setelah dibangunnya ruko tersebut pemandangan itu tak lagi dapat dijumpai"]
[/caption] Jika masa taman kanak-kanak kuisi coretan tanganku dengan gambar gunung dan pohon yang melatari rumah, mungkin anak-anak di masa yang akan datang akan menggambar pertokoan, pusat perbelanjaan sebagai latar rumahnya di kampung halamanku, Salatiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H