Tahun 2010 merupakan salah satu tahun yang berkecamuk bagi Indonesia. Banyaknya bencana alam menerpa berbagai wilayah di Indonesia.
Berbagai bencana yang terjadi tak hanya mendatangkan kerugian baik berupa material maupun non material saja, tetapi juga menghadirkan perasaan traumatik kepada para korbannya.
Erupsi Merapi pada tahun 2010 hingga kini dikatakan para peneliti sebagai erupsi terbesar yang pernah terjadi dalam sepanjang Merapi mengeluarkan erupsinya.
Erupsi Merapi tahun 2010 telah menelan ratusan korban jiwa termasuk Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi.
Di samping itu, tak sedikit pula yang selamat dari ancaman bencana tersebut. Jumarno, korban letusan Gunung Merapi memberikan kesaksiannya. Jumarno merupakan salah satu warga Pedukuhan Ngancar, Kelurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Masih lekat di ingatan Jumarno mengenai peristiwa meletusnya Gunung Merapi di Sleman tahun 2010. Saat itu ia berusia 21 tahun.
Pada waktu itu, dirinya yang lelah setelah menjaga neneknya di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berencana untuk beristirahat di rumahnya.
Meski telah mengetahui keadaan Merapi yang telah meletus sebelumnya yakni pada 26 Oktober 2010, Jumarno tetap berniat untuk beristirahat di rumahnya. Alasannya ialah karena ia tidak dapat beristirahat dengan baik di pengungsian, maka dari itu dirinya kembali ke rumahnya.
Selain itu, ayahnya merasa kasihan jika harus meninggalkan kakeknya di rumah sendirian menjadi alasan lainnya mengapa Jumarno bersama ayahnya memilih untuk tidak mengungsi di kelurahan.
Malam Jumat Pahing dalam Kalender Jawa, tepatnya pada 28 Oktober 2010, setelah maghrib, saat Merapi tengah mengeluarkan lava beserta awan panasnya, dirinya yang tengah berbaring di depan televisi ditemani ayah serta kakeknya tidak menyadari hal tersebut.
Ia bersama ayah dan kakeknya baru menyadari erupsi tersebut ketika sekitar pukul 12 malam. Mereka merasakan hawa panas menyelimuti rumahnya.