Lihat ke Halaman Asli

Apakah Konsumsi Nasi Dingin Lebih Baik untuk Penderita Diabetes?

Diperbarui: 5 Juni 2024   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit dengan angka kematian tertinggi ketiga di Indonesia pada tahun 2019 yaitu 57,42 kematian per 100.000 penduduk (Institute for Health Metrics and Evaluation). Menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menjadi peringkat kelima diabetes tertinggi dengan angka 19,5 juta penderita. Penyakit diabetes mempunyai 2 tipe. Diabetes tipe 1 terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang dan menghancurkan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin. Hal ini menyebabkan kadar glukosa darah meningkat sehingga memicu kerusakan pada organ-organ tubuh. Diabetes tipe 1 disebut juga dengan diabetes autoimun. Adapun diabetes tipe 2, yaitu diabetes yang terjadi akibat sel-sel tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin sehingga insulin yang dihasilkan tidak bisa digunakan dengan baik atau disebut juga resistensi insulin.

Kemunculan informasi yang beredar saat ini adalah nasi dingin yang baik untuk penderita diabetes. Bagi penderita diabetes, konsumsi nasi putih mungkin perlu dibatasi guna mencegah kenaikan gula darah. Untuk menghindari efek tersebut, ada anggapan bahwa mereka sebaiknya mengonsumsi nasi putih dingin. Untuk kebenaran dari informasi tersebut, kami mengumpulkan informasi mengenai penelitian terkini terkait dengan hal tersebut.

Nasi merupakan salah satu sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi. Beras juga merupakan bahan makanan pokok sehari-hari bagi lebih dari separuh populasi dunia. Karbohidrat utama dalam nasi adalah pati. Produk pati sering diberi perlakuan panas sebelum dikonsumsi untuk meningkatkan ketersediaan dan daya cernanya. Pendinginan produk pati yang dimasak menurunkan kandungan karbohidrat yang tersedia dengan menghasilkan pati resisten. Jenis pati ini terbentuk dalam proses yang disebut retrogradasi.

Pati resisten adalah pati yang tidak dapat dicerna dengan baik oleh usus halus, tetapi mampu terfermentasi oleh mikroflora pada usus besar. Salah satu pati resisten yang paling stabil adalah pati teretrogradasi khususnya amilosa. Pati yang mengalami retrogradasi adalah jenis pati resisten tipe 3 (RS3). Pati ini mengalami penurunan angka glikemik akibat perubahan struktur selama pendinginan pati. Pada proses ini, molekul amilosa dan rantai cabang panjang amilopektin membentuk heliks ganda dan kehilangan kapasitas mengikat air. Heliks ganda molekul pati ini tahan terhadap hidrolisis amilase. Bentuk pati yang mengkristal dapat menahan degradasi enzimatik di usus halus, sehingga menurunkan konsentrasi pati yang dapat dicerna dalam produk pati yang dimasak.

Zhang et al. (2020) dalam penelitiannya terkait intervensi RS3 pada kondisi diabetes mellitus tipe 2 menyebutkan bahwa RS3 berperan dalam penurunan kadar glukosa darah, memperbaiki dislipidemia, mengurangi resistensi insulin, serta meningkatkan sensitivitas insulin. Hal ini ditunjukkan melalui pengaruh konsumsi RS3 terhadap siklus tricarboxylic acid (TCA). Siklus TCA merupakan jalur metabolisme terakhir dari tiga nutrisi utama, yaitu gula, lipid, dan asam amino. Namun, penderita diabetes mellitus tipe 2 cenderung mengalami gangguan metabolisme glukosa, lipid, dan asam amino. Intervensi RS3 dilaporkan dapat menurunkan regulasi L-Arginine, L-Histidine, dan prolin yang akan mendorong siklus TCA untuk menghasilkan lebih banyak -ketoglutarat. Selain itu, RS3 juga dapat menurunkan regulasi valin, leusin, isoleusin, dan metionin untuk mendorong siklus TCA untuk menghasilkan lebih banyak suksinat.

Isoleusin, valin, tirosin, tirosin, fenilalanin, dan arginin merupakan metabolit prediktor penyakit diabetes mellitus tipe 2 (Wang et al. 2011). Valin berperan penting dalam regulasi pergantian protein dan pemeliharaan homeostasis glukosa. Tingginya metabolit valin, leusin, fenilalanin, dan arginin mengindikasikan adanya gangguan metabolisme asam amino yang parah pada penderita (Zhang et al. 2020). Sementara itu, tingginya isoleusin, leusin, dan valin yang tergolong asam amino rantai bercabang serta fenilalanin dan tirosin yang tergolong asam amino aromatik diasosiasikan dengan risiko hiperglikemia karena menunjukkan gangguan sensitivitas insulin (Wrtz et al. 2013). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi metabolisme glukosa yang tidak normal pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Gangguan metabolisme ini diketahui karena katabolisme terhambat pada penderitanya (Zhang et al. 2020). Oleh karena itu, RS3 mampu meregulasi penurunan metabolit tersebut sehingga siklus TCA dapat dipercepat. Dengan ini, pemanfaatan glukosa dapat ditingkatkan dan kadar glukosa dalam darah akan turun.

Dalam pembuktiannya, dapat digunakan pengujian kadar gula darah tubuh yang dipengaruhi oleh indeks glikemik. Indeks glikemik adalah ukuran seberapa cepat makanan tertentu meningkatkan kadar gula darah setelah dikonsumsi. Indeks glikemik rendah diklasifikasikan sebagai makanan yang dicerna dan diserap secara lambat, sedangkan indeks glikemik tinggi cepat dicerna dan diserap. Salah satu metode penentuan respon glikemik yang dilakukan oleh Sonia et al. (2015) diadaptasi dari metode penentuan indeks glikemik FAO (Food and Agriculture Organization). Lima belas orang dewasa sehat (5 laki-laki dan 10 perempuan) dipilih untuk dilakukan tes indeks glikemik. Kriteria inklusi meliputi: (1) sehat, (2) berusia antara 20 dan 40 tahun, (3) mampu membaca dan menulis. Persetujuan tertulis diperoleh dari subjek setelah penjelasan lengkap tentang tujuan, metode, dan risiko penelitian. Berdasarkan metode tersebut, diperoleh hasil pengukuran kadar glukosa darah pada menit ke-45 dan 60 setelah konsumsi nasi uji II secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan nasi kontrol. Kadar glukosa darah pada menit ke-90 dan 120 setelah konsumsi nasi uji II juga cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nasi kontrol. Penurunan kadar glukosa darah ini berkontribusi terhadap penurunan IAUC setelah konsumsi nasi uji II dibandingkan dengan nasi kontrol.

Ananda et al. (2013) juga melaporkan kadar glukosa darah yang lebih rendah pada 45 hingga 120 menit dan IAUC yang lebih rendah secara signifikan setelah konsumsi nasi putih dingin (didinginkan selama 10 jam pada suhu 3C) dibandingkan dengan nasi putih hangat (baru dimasak). Dewi dan Isnawati (2013) menemukan kadar glukosa darah postprandial yang lebih rendah setelah mengonsumsi nasi kemarin (didinginkan selama 24 jam pada suhu 4C dan kemudian dipanaskan kembali) dibandingkan dengan nasi yang baru dimasak, meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan beberapa literatur yang dikaji, diperoleh kesimpulan bahwa konsumsi nasi yang telah didinginkan dapat mengontrol kadar gula darah pada tubuh sehingga dapat dijadikan alternatif nasi yang dikonsumsi oleh penderita diabetes. Selain pengujian berbasis indeks glikemik, pengujian dapat dilakukan dengan pengukuran kadar pati resisten. Akan tetapi, uji ini tidak terlalu disarankan karena pati resisten yang diukur tidak terbatas pada pati resisten tipe 3 (RS3) saja, sehingga peluang terjadinya kesalahan positif tinggi.

Daftar Pustaka

Ananda D, Zuhairini Y, Sutadipura N. 2013. Resistant starch in cooled white rice reduce glycaemic index. Obesity Research & Clinical Practice. 7:38.

Dewi AP, Isnawati M. 2013. Pengaruh nasi putih baru matang dan nasi putih kemarin (teretrogradasi) terhadap kadar glukosa darah postprandial pada subjek wanita pra diabetes. Journal of Nutrition College. 2(3):411-418.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline