Perbankan merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi di Indonesia yang mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Sebagai tempat perputaran uang, bank memiliki kedudukan yang rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan, baik oleh pihak bank sendiri maupun oleh pihak luar yang memanfaatkan bank sebagai tempat untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.
Tindak pidana di bidang perbankan yang terjadi selama ini pada umumnya melibatkan orang dalam bank (pihak intern/pihak teralifiasi) yang tentunya mengetahui mekanisme, prosedur dan sistem keamanan bank yang bersangkutan.
Keterlibatan orang dalam bank ini, ada yang memang murni inisiatif sendiri dan ada kerja sama antar orang dalam, ada juga kolaborasi antara orang dalam bank dengan orang di luar bank (ektern), dan atau bahkan pembobolan yang dilakukan oleh orang luar bank dengan merusak sistem keamanan bank dengan menggunakan pencurian data melalui hackers.
Dalam implementasi penerapan hukum pidana, sudah banyak kasus-kasus tindak pidana di bidang perbankan yang diproses dan diselesaikan secara hukum, yang dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan sampai di sidangkan di pengadilan yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, tak dapat dipungkiri tindak pidana di bidang perbankan terus berkembang dan meningkat dengan berbagai modus operandi yang bervariasi.
Tindak pidana di bidang perbankan itu sendiri merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-undang perbankan maupun yang terdapat dalam ketentuan pidana umum ataupun dalam tindak pidana khusus lainnya. Adapun kategori kejahatan perbankan diantaranya seperti penipuan kepada nasabah (Phising,spam), Fraud penyalahgunaan transaksi yang sah, dan attack (Pembocoran data nasabah ataupun serangan kepada sistem bank).
Salah satu bentuk kejahatan yang akan dibahas disini adalah kejahatan dalam bentuk pemalsuan kartu kredit. Umumnya tindak pidana terkait kartu kredit dilakukan dengan menggunakan teknik penghitungan dan sistem pengetahuan yang dikendalikan oleh pelaku tindak pidana. Pelaku tindak pidana biasanya mencakup sekelompok orang yang mempunyai kemampuan berpikir relatif tinggi dan dapat memaksimalkan teknologi. Kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan kartu kredit berkisar dari pemalsuan identitas individu pada aplikasi bank dan kartu bank, hingga pencetakan kartu dengan menggunakan teknologi canggih yang serupa dengan yang digunakan oleh bank. Umumnya perbuatan pidana yang sering terjadi berkaitan dengan pemakaian kartu adalah tindakan menipu, mencuri dan memalsukan.
Upaya meminimalisir terjadinya kejahatan menggunakan kartu kredit dilakukan oleh Bank Indonesia dengan adanya regulasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang merupakan alat yang digunakan sebagai media kejahatan operandi khususnya penipuan kartu kredit. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu serta Surat Edaran Bank Indonesia No.7/60/DASP pada tanggal 30 Desember 2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Selain itu, regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia mengenai regulasi atas transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi milik nasabah. Regulasi ini dihadirkan sebagai upaya untuk mengedukasi nasabah dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap risiko penipuan kartu kredit (Carding). Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/6/PBI/2005 Jo. Surat Edaran Bank Indonesia No.7/25/DPNP tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Penipuan dan penyalahgunaan kartu kredit tidak hanya diupayakan oleh Bank Indonesia. Namun, tindak pidana tersebut dapat dikenakan pasal dalam KUHP yaitu:
- Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan;
- Pasal 322 KUHP tentang Pembocoran Rahasia;
- Pasal362 KUHP tentang Pencurian;
- Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan;
- Pasal 378 KUHP tentang Penipuan;
- Pasal 480 KUHP tentang Penadahan.
Selain tercantum dalam KUHP, pengaturan sanksi atas penyalahgunaan kartu kredit juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian, peraturan perundang-undangan yang relevan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hal ini berkaitan dengan hukum perlindungan yang didapatkan konsumen dalam sistem hukum di Indonesia. Lalu, PP Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
Kebijakan hukum dalam penanggulangan terhadap kejahatan kartu kredit dapat dilakukan dengan 2 (dua) upaya, yaitu:
- Upaya Penal (Tindakan Represif), upaya ini dilakukan untuk mengungkap kasus kejahatan kartu kredit dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yaitu KUHP.
- Upaya Non-Penal (Tindakan Preventif), upaya ini merupakan kebijakan penanggulangan paling relevan karena bersifat melakukan pencegahan terhadap tindakan dengan cara menghapuskan faktor-faktor yang menjadi penyebab tindak pidana.
Namun, dalam upaya menekan angka kejahatan menggunakan media kartu kredit di Indonesia lebih diperlukan menggunakan upaya represif, yaitu dengan menghukum pelaku kejahatan dengan ancaman pidana dalam KUHP, UU Perbankan, dan UU TPPU dengan maksimal terhadap pelaku kejahatan kartu kredit. Diperlukan perbaikan perangkat hukum yang mengatur secara tegas dan khusus mengenai kejahatan kartu kredit sebagai upaya meminimalisasi kejahatan kartu kredit. Terlepas dari itu, pembentukan karakter yang bermoral juga harus selalu diupayakan terhadap semua anggota perbankan, mengingat dalam teori kriminologi disebutkan bahwa setiap orang mempunyai faktor kriminogen dan berpotensi menjadi penjahat apabila didukung oleh lingkungan yang jahat pula.