Pandemi Covid-19 menjadi wajah dunia saat ini, menggambarkan dunia sedang tidak berdaya melawan virus yang mematikan. Siapa yang membayangkan dunia yang sedang penuh dengan kemajuan teknologi dan pengembangan inovasi yang luar biasa terhenti dan terlahang oleh satu virus bernama Corona Virus Disease (Covid-19). Ketika kebiasaan sehari-hari seluruh penduduk dunia berubah 360 derajat dengan rentan waktu yang entah sampai kapan akan kembali seperti semula. Ketika semua negara kalang kabut mencari cara agar pandemi ini bisa dikendalikan, nyatanya butuh waktu lebih dari satu tahun untuk mencari tahu pintu mana yang menjadi jalan keluar. Dulu sebelum virus ini menular melintasi seluruh dunia, kita menganggapnya hanya penyakit biasa yang membahayakan negara China pada saat itu. Tapi sekarang satu virus yang awalnya dianggap biasa, memakan satu dunia hingga saat ini. Dari awal virus ini menyebar mereka juga bermutasi menjadi banyak varian yang lebih mematikan, banyak negarapun memberikan antisipasi dengan kebijakan lockdown yang diharapkan dapat mengendalikan jumlah positif yang terus meningkat di negaranya. Di Indonesia sendiri, pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskla Besar (PSBB) yang dirasa lebih cocok untuk karakteristik masyarakatnya. Dalam kebijakan PSBB ini menuat ketentuan-ketentuan dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan yang akan dijalankan pada masa pandemi. Seperti halnya kapasistas rumah ibadah, mall, cafe dan restoran hanya diperbolehkan 50%, sistem pembelajaran melalui daring, bekerja dari rumah, acara dengan kerumunan dilarangan, dan pembatasan kebijakan lain yang kemungkinan akan mengakibatkan penularan virus Covid-19. Ditengah pandemi yang belum dapat kita lihat ujungnya sampai kapan, terciptalah kehidupan era “New Normal” atau kehidupan normal baru yang dapat menggerakan kembali kehidupan normal yang dulu dengan ketentuan penerapan protokol kesehatan dengan ketat.
Hidup normal baru adalah kehidupan dimana manusia selalu dihadapkan adanya ancaman Covid-19[1]. Mulainya era kehidupan normal baru diharapkan dapat menjalankan kembali sendi kehidupan yang sebelumnya harus terhenti. Masyarakat kini dapat beraktifitas kembali dengan beradaptasi menerapkan protokol kesehatan yang ketat disetiap beraktivitas diluar rumah. Dimana syaratnya adalah selalu menggunakan masker, selalu menerapkan hidup bersih dan sehat, menjaga jarak, selalu mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan mengurangi mobilitas. Tentu tatanan kebiasaan ini menggubah pola pikir dan gaya hidup semua masyarakat, yang pasti menimbulkan culture shock. Dampak yang ditimulkan dari adaptasi baru ini adalah terdapat dua tipe masyarakat, yang pertama patuh dan taat dengan himbauan pemerintah dan yang kedua tidak percaya bahkan menghiraukan peraturan yang ada atau apatis. Maka pemerintah dan segenap elmen masyarakat berkolaborasi agar kebijikan adaptasi baru ini dapat dipatuhi oleh semua masyarakat. Disetiap pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan yang berisi sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, seperti di DKI Jakarta yang dimuat dalam Pergub Nomor 79 tahun 2020 tentang sanksi progresif terhadap pelanggaran protokol kesehatan yang berulang. Terdapat dua tipe sanksi yang diterapkan setiap daerah, ada yang menggunakan sanksi denda dengan uang dan ada juga sanksi sosial berupa menyapu jalan, masuk kedalam peti mati dan sebagainya, yang diharapkan dapat menyadarkan masyarakat bahwa saat ini kita hidup dalam kenormalan baru. Elemen lain yang membatu pemerintah adalah Polisi, TNI, Sapol PP yang sering kali melakukan oprasi penjaringan pelanggaran protokol kesehatan. Dari elemen keluarga dan pendidikan juga melakukan yang sama, dengan mengedukasi masing-masing anggota keluarga dan para murid agar patuh dan taat dengan peraturan protokol kesehatan ini. Dengan selalu mengingatkan hal-hal buruk yang akan terjadi bila mereka abai dengan kondisi saat ini, penananman nilai-nilai kebaikan dan anjuran para tokoh-tokoh agama juga sangat berdampak bagi masyarakat. Sehingga semua elemen dari pemerintah, angkatan bersenjata, keluarga, pendidikan, agama dan lain sebagainya saling membatu dalam menerapkan protokol kesehatan di masa kehidupan normal baru.
Kehidupan normal baru ini sejalan dengan perspektif Althusser dalam ideologi dan aparatus ideologi negara dalam gaya hidup di era pandemi. Menurut Althusser (1969), formasi sosial terdiri dari tiga praktek: ekonomi, politik dan ideologis. Model tersebut memungkinkan otonomi relatif dari suprastruktur, dimana ini beroperasi melalui apa yang dia sebut 'struktur dalam dominasi'[2]. Maka dari tiga praktek formasi sosial diatas dapat menjadi domininan dalam konjungtur sejarah tertentu. Saat ini jika kita lihat praktek politiklah yang menjadi dominasi dalam struktur, dimana masyarakat harus memilih untuk hidup dengan protokol kesehatan agar terhindar dari penularan virus Covid-19, kehidupan normal baru sebagai adaptasi yang harus diterima masyarakat. Dalam esai Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara yang berangkat dari cakrawala problematik reproduksi syarat-syarat produksi material justru diakhiri dengan afirmasi superstrukturalis bahwa ‘tidak ada sesuatupun di luar ideologi’ (Althusser 1971: 175). Konsekuensi dari pengakuan ini adalah bahwa semua yang kita anggap objektif sebetulnya hanyalah konstruksi subjektif-ideologis yang tertentu saja[3]. Jadi bagi Althusser konsekuensi langsung dari pengertian tentang subjek dan identitas sebagai yang telah selalu dikonstitusikan oleh yang lain adalah bahwa akhirnya ‘tak ada sesuatupun di luar ideologi’[4]. Lalu Althusser membagi dua aparatur yang bekerja, yang pertama adalah Repressive State Apparatus (RSA) atau aparatus represif negara, yakni seluruh mekanisme koersif yang bekerja dalam memastikan tereproduksinya syarat-syarat produksi. Contohnya adalah pemerintah, pengadilan, penjara, angkatan bersenjata dan lain sebagainya. Kedua adalah Ideological State Apparatus (ISA) atau aparatus ideologis negara, yang melatih kita untuk mengikuti dan menlanggengkan nilai-nilai dan aturan kelas dominan tanpa kekerasan. Sifatnya lebih halus dengan proses internalisasi nilai yang lebih humanis. Contohnya adalah agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan, media massa dan seterusnya.
Jika kita lihat lagi, kedua aparatur yang disebutkan Althusser diatas saat ini saling berkolaborasi dalam penerapan protokol kesehatan di masa kehidupan normal baru. Disini masyarakat menjadi pihak yang didomonasi oleh idelogi dari pemerintah yang berkolaborasi dengan elemen apartur yang lain dalam menjalankan kebijakannya. Dari aparatur negara sendiri dalam penerapannya bersifat represif dengan adanya sanksi bila melanggar protokol kesehatan ini, sedangkan dalam apatarur ideologi penanaman nilainya adaptasinya tanpa kekerasan melainkan pendekatanya lebih bersifat humanis dengan sosialisasi disetiap hari, misalnya disetiap akhir pelajaran daring setiap guru saling mengingatkan kepada anak muridnya untuk selalu taat prokes dan tidak nongkrong ataupun berkumpul di luar selama sekolah daring ini. Sehingga masyarakat mendapatkan dua stimulus dari dua apatatur yang memiliki sifatnya masing-masing yang tujuannya untuk selalu mematuhi aturan kehidupan new normal ini.
Referensi:
[1] Muhyidin, 2020. Covid-19,NewNormal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia. The Indonesian Journal of Development Planning Volume IV No. 2 –Juni 2020.
[2] Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture An Introduction.
[3] Althusser. (2015 : 4). Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation).
[4] Ibid hlm.5