Kepada yang terhormat, Tuan yang sedang meringkuk di pojok sana.
Kata-kata terakhir yang kudengar dari mulutmu telah memanggilku kemari.
Lirih yang menggema dari balik daun telingaku.
Belulang rapuh yang telah ditinggal ruh.
Pada malam yang dengan ambisi kau biarkan aku merasa.
Pisau yang rindu batang napasku.
Satu-satu darah membeku lalu nyawa melayang menjadi abu.
Abuku abu jiwamu dari masa lampau beterbangan dibawa risau.
Tanganmu telah lebih dingin dari kosong ragaku.
Pun otakmu tidak lebih waras dari jiwaku yang meranggas.
Kubertamu malam ini dalam ruang bayang pelarianmu atas ketiadaanku.
Dan akan kukisahkan balada orang terdahulu yang telah kujumpa di bawah tanah.
Prosa biasa yang tak tertulis dalam buku sajak bahasa.
Dari jiwa-jiwa yang tertatih merangkak dari bawah bumi mencari para perantara mereka.
Tak bermaksud menakuti.
Aku pasang telinga dengan alasanmu.
Aku mengepal dendam agar tak berserakan menguburmu.
Aku membawa batu untuk menyumpal mulutmu bilamana kau berteriak.
Aku membawa gumpalan kapas untuk menutup hidungmu bilamana kau tak tahan dengan aroma lukaku.
Kata maut, aku boleh membawamu.
Wahai Tuan yang mengantarku pada batas dunia.
Sepanjang malam yang romantis atas pertemuan kita.
Aku akan membantumu mengukir nama di atas pusara.
Demikian janjiku malam ini.
Menemani hatimu yang telah lebih dulu mati.
-
Baca puisi Annisa A lainnya: Ada Malam, Ditelan Tanah Rantau
Cerpen lainnya: Memutus Siklus, Lubang Hitam, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H