Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Sandiwara

Diperbarui: 22 Januari 2022   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

unsplash.com/@kyleunderscorehead

Adalah sebuah hal yang lucu ketika kau menyaksikan seseorang sedang bersandiwara di hadapan orang lain sementara orang lain tadi pun diam-diam bersandiwara di belakangnya. Mereka saling mencoba menipu. Padahal mereka sama-sama tertipu.

Aku adalah salah satu penonton yang tanpa perlu membayar tiket akan disuguhi drama murahan ini sepanjang hari. Di ruang tamu, di ruang tengah, di ruang makan, seolah-olah film ini terus diputar tanpa henti. Seorang suami yang bertingkah amat penyayang terhadap istrinya. Seorang istri yang berpura taat akan ujaran suaminya. Anak-anak mereka yang baik dan sopan diam dengan patuh menanti pengajaran dan didikan mereka tentang kehidupan. Sayangnya, dengan amat sangat terpaksa, aku pun ikut memainkan peran sebagai anak yang takkan melawan.

Tidak ada yang tahu perihal adanya permainan teater di rumah kami. Tidak adik-adikku. Bahkan tidak juga sepasang suami istri itu. Aku adalah satu-satunya dan berusaha agar tak perlu ada orang kedua. Sungguh aku muak, tetapi kulihat wajah polos anak-anak yang belum tahu busuknya dunia, rasanya tak sanggup aku menjadikan mereka korban sementara mereka tidak tahu apa-apa.

Ini membuatku hampir gila! Aku mengutuk kepura-puraan suami istri itu, tetapi kemudian kudapati diriku ikut bermain di dalamnya. Hingga suatu hari sang istri mengamuk pada suaminya. Ia mengacung-acungkan handphone sambil mengumbar sumpah serapah. Sang suami tak mau kalah. Ia turut menyebut perkara lain hingga suaranya terdengar ke luar rumah.

Aku menyeret adik-adikku ke luar. Tidak tahu apakah harus tertawa atau prihatin. Kupaksa mereka ikut denganku. Kalau sudah terbongkar, maka seperti itulah akhirnya. Aku tak pernah ingin kembali lagi ke sana. Kubawa adik-adikku menuju salah satu sanak keluarga. Mereka bertanya-tanya kenapa. Kukatakan dengan tegas, jika ada yang peduli maka salah satu dari pemain sandiwara itu akan kembali.

Lama sudah waktu berjalan. Roda kehidupan tetap berputar tanpa hambatan. Sudah lama kabar itu beredar apa adanya. Kini aku bukan satu-satunya yang mengetahui, drama itu menyebar dengan sendirinya. 

Kutebak para pemainnya sudah hidup damai. Mereka memilih jalan masing-masing. Sekarang sudah teralihkan dengan hidup yang baru. Tak satu pun dari mereka yang kembali. Kurasa aku hanya salah satu penonton yang bisa dengan mudah diganti.

Kulihat adik-adikku. Mereka sudah bisa menerima, setidaknya itulah yang mereka tunjukkan padaku. Bagiku itu sudah cukup. Aku tidak ingin memainkan sandiwara apa pun lagi. Kubiarkan yang tak ingin kembali untuk tetap pergi. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri.

-

Baca cerpen Annisa A lainnya: Meramal KematianLubang Hitamdan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline