Lihat ke Halaman Asli

Annisa F Rangkuti

TERVERIFIKASI

🧕

Miris, Tragedi Intelektual di Buku Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

YA, ini terkait buku "Jokowi [Bukan] Untuk Presiden", dimana saya sebagai salah satu penulisnya. Sejak awal saya ikut mengirimkan link tulisan saya ke pengelola Kompasiana untuk diseleksi, saya tak berharap banyak. Sama sekali tak ada pikiran saya untuk berharap tulisan saya itu lolos seleksi. Tokh, itu adalah tulisan saya setahun yang lalu, di saat event Pilgub Jakarta lagi seru-serunya. Sampai-sampai saya lupa pernah mengirimkan link itu ketika pada suatu sore, Mas Nurul, salah seorang admin Kompasiana, menelepon saya untuk meminta persetujuan agar tulisan saya diikutsertakan ke dalam buku Jokowi -yang saat itu saya belum tahu judulnya apa. Itu pun ditelepon karena saya selama beberapa hari tak mengecek email, sementara email balasan sudah tiba tenggat waktunya.

Jelas saya senang. Jelas saya sumringah. Karena untuk pertama kalinya, tulisan saya masuk ke dalam buku kolaborasi yang diterbitkan penerbit major. Selama ini beberapa kali tulisan saya "hanya" terselip di buku-buku antologi terbitan indie. Terasa "wah"? Ya. Meski saya hanya menyumbang  satu tulisan saja di buku itu.

Tak saya pikirkan berapa kira-kira kisaran honor yang akan saya terima terkait penerbitan buku itu di bawah bendera penerbit PT. Elex Media Komputindo. Saya sudah menduga bakal dapat sedikit. Istilahnya, tak mungkin lah mendapat royalti berjuta-juta..hahaha.. Wajar, karena penulisnya serombongan. Setelah dirilis di toko buku Gramedia se-Jabodetabek pada tanggal 16 September, pihak pengelola Kompasiana menjanjikan surat perjanjian penerbitan akan segera menyusul setelah rilis. Oke, saya dan teman-teman sesama penulis di buku itu pun menunggu.

Hingga akhirnya saya mendapat kabar tentang besaran honor yang diterima masing-masing penulis per artikel, yakni Rp 155.000,- Itu juga setelah saya di-tag di status Facebook Kompasianer Anazkia yang mempertanyakan berapa sebenarnya jumlah penulis yang berkolaborasi di buku Jokowi tersebut? Sekaligus menautkan link artikel Kompasianer Suko Waspodo yang satire di Kompasiana. Reaksi awal saya jelas tak menduga besaran honornya segitu. Tapi saya langsung coba berpikir positif, tepatnya menghibur diri, kalau besaran segitu lumayanlah untuk seorang penulis pemula seperti saya.

Meski berusaha melogikakan perasaan miris saya, tak urung saya sempat tertegun sejenak. Rp 155.000,-? Apa saya tak salah lihat? Beberapa saat kemudian saya baru cek email. Dan saya makin ternganga. Bukan saja soal besaran honor yang didapat, tapi isi surat perjanjian penerbitan itu yang bikin makin ngenes. Kontrak panjang selama 10 tahun dengan bayaran honor sekali saja alias memakai sistem beli putus, dengan harga masing-masing artikel ya Rp 155.000,- tadi.

Tak cukup sampai di situ, soal pengalihan hak cipta pun terasa berat sebelah. Entahlah. Mungkin saya yang tak cukup paham bahwa memang begitulah kenyataannya bila karya tulis kita masuk ke penerbit major atau memang kebijakan penerbit bersangkutan yang dirasa "terlalu" kalau kata Bang  Rhoma Irama. Bahkan bisa dikatakan saya justru membayar lebih untuk rasa bangga yang kadung tercipta dengan terbitnya buku itu. Membayar untuk sejumlah buku yang saya pesan. Membayar jasa kurir untuk kepentingan pengiriman Surat Perjanjian Penerbitan (SPP) jika itu jadi saya setujui. Praktis, saya sebagai salah satu penulisnya hanya memperoleh rasa bangga itu saja.

Terlalu, karena bahan tulisan adalah seorang tokoh politik paling populer saat ini dan berpotensi tetap menjadi tokoh yang paling banyak dibicarakan beberapa tahun mendatang. Terlalu, karena momentum rilisnya sangat pas, jelang Pilpres 2014 dan di tengah isu Jokowi yang digadang-gadang menjadi salah satu kandidatnya. Terlalu, karena dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, masih ada kesempatan buku itu untuk laku dijual meskipun seandainya Jokowi baru mencalonkan diri sebagai Presiden di tahun 2019. Terlalu, terlalu, ah, memang terlalu-kah atau bagaimana?

Saya jadi serba salah. Dilematis, tepatnya. Saya merasa ini bukan hanya perkara besaran honor yang tidak cukup adil, tapi lebih pada besaran penghargaan atas suatu karya tulis. Di sisi lain, saya berpikir, "Ah, sudahlah. Namanya juga penulis pemula. Terima saja apa adanya. Sudah syukur lolos seleksi dan diterbitkan menjadi buku keren oleh penerbit major. Bukankah itu sesuatu yang "wow" dan kebanggaan yang tak ternilai?"

Berpikir begitu, saya tetap saja merasa ada yang tak sesuai pada tempatnya. Kalau saja sejak awal buku itu diterbitkan dengan tujuan bakti sosial atau amal/charity, saya takkan masalah. Karena sejak awal saya sudah setuju dengan ide itu dan bersedia menyumbangkan satu tulisan, misalnya. Atau memang dikatakan penulis tidak akan mendapat apa-apa selain rasa bangga itu tadi.

Sama halnya dengan tujuan saya menulis di Kompasiana, yang selama ini saya anggap sebagai sekolah menulis bagi saya pribadi. Rasa puas dan bangga bila tulisan sederhana saya masuk headline, rasa puas dan bangga bila tulisan ecek-ecek saya nangkring di Trending Article. Saya senang berbagi apa saja yang ingin saya bagi di sini. Tanpa rupiah sepeser pun. Akan lain ceritanya kalau tulisan saya dimuat di rubrik Kompasiana Freez-Kompas atau tulisan saya menjadi salah satu pemenang event lomba, di mana akan ada sebentuk penghargaan berupa materi di situ.

Saya juga senang ikut menjadi bagian proyek penulisan non profit -kalau bisa disebut demikian- yang karyanya akan diterbitkan penerbit indie. Bahkan saya sudah merelakan satu naskah cerpen saya tidak kunjung diterbitkan ke dalam bentuk buku antologi oleh salah satu penyelenggara, karena niat awal yang sudah disepakati; untuk amal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline