YUP! Memang judul ini terinspirasi dari istilah royal wedding, yang dalam waktu setahun ini mengemuka di media lewat tulisan maupun tayangan yang mengabadikan perhelatan pernikahan keturunan-keturunan para pembesar.
Dimulai dari putra mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran William dengan Kate Middleton pada 29 April 2011 silam. Lalu disusul pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X Gusti Raden Ajeng Nurastuti Wijareni yang kini bernama Gusti Kanjeng Raden (GKR) Bendoro yang dipersunting pria asal Lampung Ahmad Ubaidilah yang oleh pihak Kraton Yogyakarta diberi nama baru Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Yudonegoro pada 16 - 19 Oktober lalu. Kedua pernikahan dari negara yang berbeda ini tampak 'besar' karena bertalian dengan adanya garis keturunan "darah biru", sehingga menyebabkan perhelatan peresmian kedua pasangan ini terasa istimewa. Bak kisah-kisah di negeri dongeng. Ada pangeran tampan dan putri cantik yang mengikat cinta kasih mereka di hadapan Tuhan dengan disaksikan jutaan mata yang menontonnya. Sungguh manis.
Yang paling anyar tentulah cerita dongeng dari Istana Cipanas. Kemarin, saya cukup antusias menonton siaran langsung akad nikah Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Ruby Aliya Rajasa di salah satu televisi swasta. Benar-benar pasangan yang serasi. Mempelai pria tampak rupawan dan mempelai wanita sangat saya kagumi kecantikannya. Sejujurnya saya tidak terlalu menaruh peduli pada banyaknya opini kontra dengan dilangsungkannya perhelatan akbar ini di Istana Cipanas. Buat saya, bukan urusan saya untuk memusingkan berapa dan darimana biaya perhelatan itu sehingga menjadi sebuah acara yang megah dan mewah. Siapapun -terutama empunya hajat-  tak akan peduli jika saya memiriskan hal itu.
Tokh, itu anaknya presiden, mau dikata apa? Sang presiden pasti merasa perlu mengundang semua orang yang berkepentingan dan menjamu mereka secara spesial di hari istimewanya. Coba saja ditarik ke diri sendiri. Mungkin kita akan begitu juga kalau duduk nyaman di posisinya. Sudah kodratnya, orangtua pasti ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Kalau merasa mampu, mengapa tidak? Untuk hal-hal seperti ini, saya rasa beliau tidak diuntungkan oleh posisinya sebagai presiden. Hehehe...
Nah, lalu dua hari lagi, tepatnya tanggal 27 November 2011, bertepatan dengan tahun baru 1 Muharram 1433 H, sepasang kekasih lagi akan melangsungkan akad nikah dan resepsi pernikahan mereka. Perhelatan ini menjadi istimewa karena keduanya dipertemukan Tuhan lewat Kompasiana. Sebelumnya sudah ada beberapa pasangan kompasianer yang bertakdir serupa; sukses mengikat cinta mereka dari pertemanan di dunia maya Kompasiana ke jenjang pelaminan. Subhanallah. Luar biasa. Betapa dari obrolan dan tulisan hasil buah pemikiran itu bisa tumbuh benih-benih cinta yang semula maya menjadi nyata. Tapi dari sekian kisah cinta yang tersemai lewat social blog ini, baru kisah cinta sejoli ini lah yang sukses tersiar di media cetak Kompas lewat kolom Kompasiana Freez-nya. Jadi saya rasa bolehlah kisah cinta ini juga diibaratkan sebagai "royal wedding" Kompasiana, terlepas dari pengertian harfiah dari royal wedding itu sendiri (Ah, ini hanya ingin mengikuti trend istilah itu saja. Hehehe...)
Maka, sebagai sahabat maya, saya ucapkan Selamat Menempuh Hidup Baru bagi kedua calon mempelai; Rahmi Hafizah Musthofa dengan Batara Khamzah. Semoga keduanya sudah siap untuk mengarungi bahtera di dunia yang sama sekali baru. Dunia yang kata orang penuh cobaan dan rintangan yang mengadang. Tapi meski begitu, tak usah risau dan ragu. Selama ada Tuhan di hati dan pada setiap jejak langkah, insya Allah semuanya akan bisa terlewati sampai akhir hayat memisahkan nanti. Lalu keluarga bahagia lahir dan bathin, dunia dan akhirat, yang sakinah, mawaddah warahmah akan dapat diraih.
Dan semoga cerita manis kala merajut cinta hari demi hari yang lalu tidak pernah berakhir. Dunia pernikahan memang dunia yang tak selalu seindah kisah di negeri dongeng. Kenyataan-kenyataan yang menguji kesetiaan ikatan senantiasa silih berganti mewarnai hari. Eratkanlah pegangan, satukanlah genggaman, karena hanya dengan demikian badai sekuat apapun akan mampu dilalui.
Di pengujung kata, sebuah kado puisi sederhana saya persembahkan untuk mereka berdua:
Aku, tanpamu, adalah elang tak bersayap
Menapaki hari demi hari dengan kehampaan