Lihat ke Halaman Asli

Annisa F Rangkuti

TERVERIFIKASI

🧕

Tuhan, Kemana Sebaiknya Cintaku Berlabuh? (#2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_114615" align="aligncenter" width="274" caption="http://tinyurl.com/3zynboe"][/caption] INI lanjutan ceritaku sebelumnya. Bagi yang belum membaca, dapat meng-klik tulisannya di sini.

Yang kedua.

Hmmm...sebenarnya aku sangat enggan menulis tentang hal yang satu ini. Tapi ini amat penting untuk menjadi bahan renungan bagi siapa saja yang akan dan sedang menjalani kehidupan berumah tangga. Bukan bermaksud menggurui, tokh, aku juga masih hijau dalam hal ini. Setiap orang yang sudah menikah pasti mengharapkan kehidupan rumah tangganya bisa berjalan harmonis selamanya. Tapi yang namanya hidup, pasti penuh dengan rintangan dan lika liku yang tak bisa ditebak. Bagaimana kalau harapan itu kandas di tengah jalan?

Cerai. Seharusnya kata ini menjadi pantangan bagi tiap pasangan yang sudah berkomitmen mengarungi kehidupan bersama selamanya. Tapi seringkali kita menemukan kalau kata ini sudah sedemikian mudahnya diungkap, apalagi bila emosi negatif sedang melanda. Usia pernikahan semakin singkat saja untuk diakhiri. Aku pun tak menyangka jika temanku ini, teman SMA-ku, adalah salah satunya. Ia memutuskan untuk berpisah dari suaminya di usia pernikahannya yang masih 2 tahun. Masih untung, tak ada anak yang menjadi korban perpisahan mereka. Bagaimana kalau sebaliknya? Aku dan dia sebenarnya tak terlalu dekat, meski aku pernah sekelas dengannya. Aku hanya tahu kalau ia sudah berpacaran dengan mantan suaminya itu sudah lama, sejak SMA. Sejak sama-sama aktif di salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Layaknya remaja, sering terjalin hubungan spesial antara kakak dengan adik kelas. Semua orang di sekolah juga tahu, kalau mereka sepertinya tak akan terpisahkan. Di luar kegiatan belajar, mereka selalu terlihat bersama, hingga kami pun merasa pasti mereka bakal berjodoh. Benar saja. Setelah sempat menjalani Hubungan Jarak Jauh selama masa kuliah, hingga akhirnya temanku ini memilih melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di kota yang sama dengan pacarnya itu, tak lama kemudian, mereka pun menyebar undangan, bersiap menjalani kehidupan baru. Tapi memanglah, manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Awalnya aku menanyakan kabarnya dan suaminya di group message kelas kami di facebook. Biasalah, pertanyaan teman yang sudah lama tak bersua. Tapi jawabannya sungguh mengejutkan. Ia tanpa basa basi menyatakan sudah berpisah dari suaminya sejak beberapa bulan yang lalu. Kupikir ia bercanda atau aku yang salah mengerti. Tapi tanggapan teman-temanku yang lain dan klarifikasinya memperjelas kalau mereka memang tak bersama lagi. Rasa penasaranku akan sebab retaknya rumah tangga mereka sempat menggelitik, namun aku urungkan. Aku tak ingin mencampuri urusan orang lain. Aku hanya bisa terhenyak dan selalu tak habis pikir. Semudah itukah memutuskan untuk bercerai? Terlepas dari kesalahan apa yang telah terjadi, setidaknya itu bisa menjadi cermin bagi diriku sendiri. Ternyata lamanya masa pacaran tak pernah bisa menjamin kelanggengan ikatan hubungan suami istri. Apalagi masa-masa awal pernikahan termasuk masa-masa kritis. Penyesuaian seringkali tak mudah dilakukan meski sebagian sifat dan perilaku pasangan sudah terlihat sejak masa pacaran. Tapi siapa yang dapat menjamin cinta itu selalu terasa manis? Hidup selalu terasa indah bagai di surga? Tak usah lah aku berpanjang kata soal kehidupan berumah tangga. Tentang lika-likunya, tentang suka dukanya, tentang segala hal yang mungkin terjadi; kesulitan finansial, anak, perselingkuhan, dsb. Belum lagi masalah remeh temeh yang bisa menjadi pemicu pertengkaran setiap waktu. Lagipula, aku juga belum banyak pengalaman tentang itu. Yang sedikit kutahu, cinta mesti dipelihara dengan kesabaran agar mengkristal menjadi cinta yang sejati. Cinta bisa berubah menjadi benci. Benci bisa berubah menjadi cinta. Sejatinya cinta disandarkan pada Sang Pemilik Cinta. Hanya DIA yang mampu membolak balik hati manusia. Manusia tidak pernah tahu tentang jalan hidupnya. Meski mengaku cinta mati, bila Tuhan berkehendak, cinta itu bisa segera berubah menjadi benci dendam. Setidaknya dari takdir yang digariskan Tuhan pada temanku tadi, aku semakin sadar bahwa aku tidak sedang hidup di negeri dongeng yang hanya mengagungkan cinta yang indah dan manis. Cinta bukan hanya terwujud dalam satu sensasi itu. Cinta dapat bermuka dua. Terkadang cinta dapat terasa pahit, hambar atau masam. Terkadang cinta dapat membuat jiwa terasa sakit, kosong dan hampa. Hanya pecinta sejati yang dapat bertahan untuk melewati segala ujian berat yang mengatasnamakan cinta. Ah, aku jadi teringat kata-kata yang terinspirasi dari obrolan bersama suamiku beberapa waktu yang lalu. Puitis dan begitu menelusup ke dalam qalbu. "Kita adalah sepasang sayap. Tanpamu aku tak bisa terbang. Tanpaku, kau tak bisa terbang. Kita akan terus mengangkasa meski hujan badai dan petir menggelegar menjadi penghalang. Kita akan terus kepakkan sayap-sayap kita agar kita dapat terbang mencapai impian. Di sana, di keabadian..." Semoga saja, sayangku...kita serahkan segalanya pada Sang Pemilik Cinta... ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline