Lihat ke Halaman Asli

Annisa F Rangkuti

TERVERIFIKASI

🧕

Namaku Totto Chan...

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sejak jadi kompasianer, rasanya jari jemari ini selalu tergelitik untuk menulis sesuatu, meskipun mungkin bukan sesuatu yang terkesan wah, bermutu tinggi, sangat cerdas, dan hanya "pantas" dibaca atau dikomentari orang-orang yang "berkelas" pula. Tapi sore ini tiba-tiba saya teringat buku favorit saya yang pertama kali saya baca waktu saya duduk di SMP kelas 1-2. Pastinya itu sudah lama sekali, kira-kira tahun 1996-1997. Buku ini berjudul Totto Chan; Gadis Cilik di Jendela, karya Tetsuko Kuroyanagi. Ya, ditilik dari judul buku dan nama penulisnya, buku ini memang ditulis oleh seorang wanita Jepang berdasarkan kisah hidupnya sendiri dengan setting era Perang Dunia II. Saya rasa di antara pembaca ada yang sudah pernah membaca bukunya. [caption id="attachment_42955" align="alignleft" width="168" caption="(google.com)"][/caption] Buku ini didekasikan penulis kepada kepala sekolah SD Tomoe Gakuen yang menurutnya berperan besar dalam mendidik siswa-siswi SD Tomoe Gakuen sehingga tumbuh menjadi manusia-manusia yang sukses di kemudian hari. Saat itu, buku ini diperkenalkan oleh kakak saya yang ketika itu sedang kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Seingat saya, buku ini bersampul coklat dan hanya berupa fotokopian, tidak semenarik tampilan bukunya setelah diterbitkan kembali pertama kali oleh PT. Gramedia pada tahun 2003. Sebelum itu, buku tersebut belum terlalu dikenal. Mengapa buku ini sangat menarik hati saya? Berikut sinopsisnya yang saya kutip dari sini Ibu Guru menganggap Totto chan nakal, padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tak tahan lagi, akhirnya Totto chan dikeluarkan dari sekolah. Mama pun mendaftarkan Totto chan ke Tomoe Gakuen. Totto chan girang sekali, di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Mengasyikkan sekali kan? Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan lain-lain di sana. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri. Hmm...itu baru garis besar isi bukunya. Banyak sekali kisah-kisah menarik, lucu dan menyentuh lainnya tersaji di dalam buku ini, seperti saat kepala sekolah sengaja mendesain perlombaan yang sebenarnya hanya dapat dimenangkan oleh anak yang bertubuh kecil dan cacat seperti salah seorang teman Totto chan. Tujuannya tak lain adalah agar anak didiknya yang cacat fisik tersebut tidak merasa berkecil hati dan lebih percaya diri. Atau saat kepala sekolah sengaja tidak membantu Totto chan yang berusaha keras seorang diri mengambil dompetnya yang terjatuh ke dalam lubang dengan cara yang kelak dipahaminya sebagai cara mendidik agar ia mandiri dalam menyelesaikan sesuatu. Semua peristiwa di dalam buku ini tentunya sangat berbau psikologi pendidikan; bahwa pada hakikatnya manusia itu unik, manusia itu memiliki karakternya masing-masing dan tidak bisa disamakan dengan orang lain. Perbedaan itu mulai dari potensi kecerdasan, karakter kepribadian, bakat, minat, sampai gaya belajar, sehingga pelajaran sekolah pun selayaknya disampaikan dengan mengikuti gaya dan keunikan masing-masing anak. Sungguh luar biasa membayangkan kondisi sekolah yang digambarkan di dalam buku ini. Semua anak belajar dengan cara yang menyenangkan hati dengan dibimbing oleh kepala sekolah dan guru yang paham benar bagaimana seharusnya mendidik anak agar tumbuh menjadi anak yang mampu memaksimalkan potensinya, mandiri, percaya diri, dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Alangkah indahnya menjadi anak didik yang seperti itu. Belajar di sekolah yang menghargai potensi dan kemampuan setiap anak didiknya; bahwa sebenarnya tidak ada anak yang bodoh dan nakal. Pasti setiap anak memiliki potensi positif berupa kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Kalau boleh berangan-angan, rasanya saya ingin menjadi murid SD Tomoe Gakuen.....:-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline