Lihat ke Halaman Asli

Annisa F Rangkuti

TERVERIFIKASI

🧕

Andakah Sang Superdad?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_92440" align="alignright" width="300" caption="(google.com)"][/caption] Entah kenapa beberapa hari belakangan ini saya menemukan cukup banyak cerita tentang sosok Ayah. Saya sendiri pada beberapa hari yang lalu juga berkisah tentang Ayah saya melalui sebuah tulisan berjenis memoir di sini. Bagi saya, sosok Ayah adalah sosok penting yang tidak bisa dinomorduakan. Posisinya menyamai ibu yang tetap menduduki peringkat teratas dalam sejarah kehidupan seorang makhluk Tuhan berlabel manusia. Berbicara tentang Ayah, saya jadi teringat pengalaman saya setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Maret 2009. Hmm...baru saja setahun lewat satu hari ya. Pada hari itu saya sedang berperan sebagai narasumber dalam sebuah acara yang diselenggarakan sekaligus disponsori oleh satu merek sabun keluarga produksi Unilever. Jika Anda masih ingat, pasti Anda tahu acara kompetisi antar Ayah "Lifebuoy Superdad", yang diselenggarakan di 7 kota besar di Indonesia dan promosinya pada saat itu dapat dilihat di tayangan televisi, radio, dan berbagai media cetak. Saya turut serta sebagai pembicara di event itu dalam kapasitas saya sebagai seorang psikolog anak. Sebenarnya saya di sana untuk menggantikan teman saya yang berhalangan hadir. Jadi sungguh, itu menjadi pengalaman menarik dan berharga bagi saya yang belum lama menyandang gelar psikolog anak sejak bulan Juli tahun 2008.  Mengapa acara itu mengundang seorang psikolog anak? Pastinya karena acara itu berkaitan dengan pembahasan tentang peran seorang Ayah dalam keluarga, yang tidak jauh-jauh dari perhatian seorang psikolog anak. Acara ini diselenggarakan bukan hanya untuk hiburan semata tanpa tujuan yang jelas dan mulia, tetapi diharapkan sebagai salah satu penggerak atau motivator bagi masyarakat untuk memaksimalkan kembali peran Ayah dalam keluarga. Loh, memangnya selama ini peran para Ayah kurang maksimal? Kan sudah bekerja keras menafkahi keluarga? Bahkan terkadang sibuk bekerja dari pagi sampai malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Apa itu masih kurang? Kurang sih tidak, tapi sebenarnya masih perlu ditambah. Agar lebih jelas, mungkin bisa saya ilustrasikan seperti ini: bagaimana perasaan Anda ketika melihat senyuman dan mendengar sapaan anak setiap hari? Apakah perasaan Anda "bahagia" atau "biasa-biasa" saja? Kalau Anda merasa bahagia, maka dapat dipastikan Anda adalah sosok Ayah yang rela melakukan apa saja demi buah hati tercinta. Rasanya tak apa bila harus bekerja keras mencari nafkah, asalkan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama anak. Bahkan bila ada waktu, Anda masih sanggup menemaninya bermain apa saja, asalkan ia senang. Kalau perasaan Anda biasa-biasa saja, bahkan terkesan cuek dengan apapun yang terjadi pada anak, mungkin Anda perlu menilik lagi beberapa aspek peran ayah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hart (dalam Slameto, 2002),  yang menggambarkan sosok Ayah sebagai:

  • Pemberi nafkah yang memenuhi kebutuhan finansial anak
  • Teman yang dapat menjalin hubungan yang baik dengan anak
  • Pengawas yang memonitor atau mengawasi perilaku anak
  • Pemberi perlindungan, penasehat yang siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada kesulitan atau masalah sehingga dengan demikian anak merasa aman dan tidak sendiri
  • Pendidik dan teladan yang baik bagi anak, dan
  • Pemberi perhatian yang membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan.

Hmm...sudah terpenuhikah semua poin di atas selama Anda berstatus sebagai Ayah? Tampak bahwa ternyata untuk menyandang predikat sebagai Ayah yang baik, Anda tidak cukup hanya membanting tulang berusaha memenuhi kebutuhan materi anak Anda lalu mengabaikan begitu saja kebutuhan psikologisnya. Selain itu, Anda juga diharapkan menjadi sosok pria yang "feminin", dalam arti tidak sungkan-sungkan membantu pekerjaan rumah tangga yang biasanya hanya dikerjakan istri; mencuci piring, memasak, menyapu rumah dan halaman, sampai pada urusan membantu anak Anda buang air, membersihkannya, mengganti popok atau celananya, membantunya mandi dan berpakaian, menemaninya bermain, dan sebagainya. Tentunya ini semua berdasarkan kesepakatan dengan istri sehingga kegiatan-kegiatan ini tidak sampai mengganggu jadwal kegiatan Ayah. Intinya adalah, Ayah bekerjasama dengan ibu dalam mengasuh dan mendidik anak. Jadi, buang pemikiran kuno bahwa tugas mengasuh dan mendidik anak mutlak adalah pekerjaan ibu seorang. Justru pada jaman modern ini harus dikembangkan pemikiran bahwa tugas Ayah dan Ibu dalam keluarga adalah sama pentingnya. Keduanya harus saling membantu dan melengkapi dalam menjalankan perannya masing-masing agar nantinya diharapkan akan tumbuh anak-anak yang sehat secara fisik dan bahagia secara psikologis. Sebenarnya belum banyak saya temui sosok Ayah masa kini yang benar-benar menjalankan perannya sebagai Ayah yang baik, yang dapat menjadi sosok teladan yang dapat diandalkan sekaligus menyenangkan bagi anak. Salah satu dari yang "belum banyak saya temui" itu adalah seorang kompasianer yang tulisan-tulisannya cukup sering membahas tentang bagaimana caranya sebagai seorang Ayah mendidik putra semata wayangnya. Mulai dari bagaimana ia menerapkan disiplin dan kesederhanaan pada putranya tersebut dengan cara-cara yang lebih lembut dan fleksibel, berbeda dengan asuhan keras dari orangtuanya dahulu, mengajarkannya membuat mainan sederhana, sampai kiatnya dalam mengajarkan anak tentang berbagai hal; membaca, menulis, sampai chatting di internet. Maka tak heran di usia yang masih 5 tahun-an, Rio, anaknya yang tinggal di Yogyakarta telah bisa baca tulis sehingga bisa diajak mengobrol via dunia maya dengannya yang tengah menempuh studi di Chicago. Meskipun mereka berjauhan, tetapi sang Ayah tetap berusaha menjalankan perannya sebagai Ayah dengan sebaik-baiknya sehingga anak tidak terlalu merasa kehilangan. Berikut sedikit kutipan obrolan mereka yang berhasil saya "curi baca" yang pastinya dengan seizin sang Ayah (dalam kutipan chatting ini disebut "Bapak"): Bapak    : Iki Rio pa? Rio          : kuis-kuisan yo pak Bapak    : siap? Rio          : ayo Rio          : siap grak Bapak    : Dari dua macam burung ini, mana yang makan daging: a. burung elang, b. burung tekukur Rio          : burung elang Bapak    : 100 Rio          : yyyyyyy Bapak    : bagus Rio          : iya e bagus e Bapak    : Dari dua burung macam ini, mana yang ukuran tubuhnya lebih besar: a. burung merpati, b. burung unta Rio          : burung unta Bapak    : 200 Rio          : yyyy Rio          : bapak 000 Rio          : 100 Bapak    : Dari dua binatang ini, mana yang memusuhi kucing: a. anjing, b. singa Rio          : singa Bapak    : hahaha ... ini bapak yg dapat 100 Bapak    : Dari dua binatang ini, mana yang jadi makanan kucing: a. ular, b. tikus Rio          : ular Bapak    : hahaha ... bapak jadi 200 Bapak    : Dari dua binatang ini, mana yang suka melet-melet kalau kepanasan: a. anjing, b. gajah Rio          : hah Rio          : anjing Bapak    : ya, Rio dapat 300 Bapak    : Dari dua binatang ini, mana yang dipakai pak tani untuk membajak sawah: a. sapi, b. domba Rio          : sapi Bapak    : wow ... 400 Bapak    : hebat sekali Bapak    : Dari dua binatang ini, mana yang dipakai untuk menarik andong: a. kucing, b. kuda Rio          : kucing Rio          : kuda Bapak    : mana jawaban Rio Rio          : kuda Rio          : kuda Bapak    : ok ... 500 Bapak    : sip Bapak    : bagus Bapak    : Dari dua jenis burung ini, mana yang makan biji-bijian: a. elang, b. pipit Rio          : pipit Bapak    : 600 Bapak    : pinter sekali Rio          : ayo lagi Rio          : aku Rio          : menang Bapak    : bapak sedang mikir Bapak    : pertanyaan kok tidak segera muncul ya Bapak    : hahahaha Chatting dengan sang anak pun usai karena Bapak sudah kehabisan pertanyaan. Saya yakin, mulai saat Ayahnya mengajarkan banyak hal padanya dengan cara yang menyenangkan,  Rio sudah mematri kalimat ini dalam hatinya, "My dad, my hero"; Ayahku, pahlawanku. >> Terinspirasi dari obrolan dengan seorang Super Spiderdad, Markus Budiraharjo. Terima kasih telah berbagi pengalaman sebagai sosok Ayah yang bijaksana dalam mengasuh dan mendidik anak...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline