Lihat ke Halaman Asli

Annisa F Rangkuti

TERVERIFIKASI

🧕

Sepenggal Kisah dari "Rumah Anak Madani"

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah SMS dan sebuah panggilan tak terjawab. Duh, kebiasaanku...seringkali tak sengaja mengabaikan bunyi-bunyi dari HPku ini. Terkadang karena keasyikan online, terlalu menikmati berkomunikasi dengan teman-teman melalui dunia maya. Kubuka SMS dan kubaca, "Maaf, ini nomor kak Nisa..?," Nomor tak dikenal dan tanpa meninggalkan nama pengirim. Dikirim 2 jam yang lalu. Kubalas sajalah, mungkin teman lama. Tapi kata "kak" membuatku menerka-nerka sosok sang pengirim. Adik kelasku kah? Junior di kampusku? Adik sepupuku? Ahh... "Maaf juga...ini nomor siapa ya?" Tak menunggu lama, SMS itu berbalas. Kubuka dan kubaca, "Ini Sarah kak..." Deg. Sarah! Satu-satunya nama Sarah yang dekat denganku adalah dia. Ingatanku langsung tertuju pada sosok gadis remaja berjilbab dan berkulit hitam manis. Badannya lebih tinggi sedikit dariku dan agak gempal. Senyumnya manis dan kalau berbicara suaranya lembut sekali. Ini pasti nomor barunya lagi. Syukurlah, aku hampir saja kehilangan kontak dengannya. Ingatanku kembali lagi ke masa hampir 3 tahun yang lalu. Pertama kali bertemu Sarah adalah saat aku bersama teman-teman kuliahku mengunjungi Rumah Anak Madani atau disingkat RAM, yang merupakan asrama khusus bagi anak-anak korban tsunami Aceh dan Nias. Kami ke tempat itu dalam rangka tugas kuliah, mengambil kasus untuk pemeriksaan psikologis. Satu orang diwajibkan mengambil dua kasus, dan salah satu kasus yang kuambil datanya adalah Sarah.

Biasanya kami akan berbincang di bawah sebuah pohon rindang di depan kantor pengurus RAM atau ke asramanya yang sedang sepi ditinggal teman-temannya. Sering aku melihat teman-temannya itu sedang asyik berolahraga basket maupun bulu tangkis atau sekedar menikmati sore sambil bercengkerama di sekitar areal RAM yang luas. Sungguh mengharukan kisah Sarah bagiku maupun bagi orang-orang yang mengetahuinya. Masa kecilnya dihabiskan di Sigli, ibukota kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Tempat itu konon adalah pusat komando Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Masa-masa kecilnya di tempat itu pastilah tak luput dari gerakan separatis itu. Entah sejak kapan, hampir setiap hari ia dan keluarganya mendengar desingan peluru dari kelompok GAM yang datang mengobrak-abrik kampung-kampung di sana. Tak jelas apa maksud dan tujuan mereka. Yang pasti sehabis Maghrib di kampung tempat ia tinggal, takkan ada lagi lampu atau cahaya yang menyala terang. Cahaya yang jadi penerang hanyalah seberkas sinar dari lampu petromaks atau lilin. Tak ada yang berani keluar, meskipun hanya sekedar duduk-duduk di teras rumah, karena tak jarang menjelang tengah malam mulailah terdengar suara-suara peluru berdesingan nun jauh di sana, tapi cukup untuk memunculkan ketakutan yang membuat para penduduk kampung hanya bisa berdiam di kamar-kamar mereka. Tak ada suara, tak ada cahaya. Semua diam, dan pagi-pagi mulailah warga kampung berbincang sambil berbisik; kampung mana yang diserang, rumah-rumah siapa saja yang dimasuki dan siapa-siapa saja yang telah diculik atau dibunuh tadi malam. Begitu terus yang terjadi. Suasana penuh teror setiap waktu. Warga hanya tinggal menunggu saatnya bagi mereka. Hingga suatu malam, pasukan GAM pun menyatroni kampung tempat Sarah dan keluarganya tinggal. Cahaya petromaks baru saja dimatikan sejak mereka mendengar suara-suara desingan peluru dalam jarak yang semakin dekat. Ayah, ibu, abang, adik dan dirinya sendiri berdiam diri di suatu kamar, tanpa suara. Sarah masih bisa merasakan degup jantungnya yang memburu ketika mendengar langkah-langkah kaki berderap cepat, mendekat ke rumahnya lalu berhenti. Hening. Tiba-tiba pintu digedor cepat-cepat, menimbulkan suara berisik yang gaduh. Ada teriakan menyuruh membuka pintu. Lama mereka diam. Gedoran di pintu itu semakin kuat, semakin gaduh. Mereka tetap diam. Sarah, abang dan adiknya menangis dalam diam. Ketakutan. Beberapa saat kemudian, tak disangka ayahnya bangkit dari duduknya, melangkah ke pintu. Ibunya menarik tangan ayahnya cepat, mencegahnya agar tak berbuat bodoh. Namun ayahnya menenangkan sang istri, memintanya untuk tetap di kamar menemani anak-anak. Ibunya menyuruh anak-anaknya tetap tinggal di kamar dan diam-diam menyusul ayahnya. Ayahnya melangkah dengan langkah pasti ke arah pintu. Sempat terjadi pembicaraan dengan suara yang setengah berteriak antara ayahnya dengan salah seorang pasukan di balik pintu itu. Tak lama, suara pintu terbuka. Pasukan yang entah berapa orang itu memaksa masuk, terjadi pertentangan. Ada bantahan, ada amarah. Ada perlawanan, ada serangan. Tiba-tiba bunyi senapan meletus di rumah itu. Begitu kuatnya di telinga Sarah, abang dan adiknya. Isak tangis mereka tetap tertahan, namun air mata semakin deras, membayangkan hal terburuk yang terjadi. Mereka saling berpelukan. Lalu terdengar suara ibunya menjerit dan menangis keras. Terdengar suara tembakan lagi. Tak lama kemudian, langkah-langkah kaki berderap itu pun pergi menjauh. Lalu senyap. Sarah, abang dan adiknya segera keluar kamar. Dalam kegelapan malam, mereka menemukan jasad ayah dan ibunya yang telah dipenuhi simbah darah.

***

Dua tahun berselang sejak kematian ayah dan ibunya di tangan pasukan GAM. Minggu pagi pukul 08.00 WIB tanggal 26 Desember 2004 adalah hari yang mengerikan juga bagiku yang tinggal di Medan. Bumi diguncang gempa berkekuatan 8,7 Skala Richter. Rumahku bergoyang. Rumah-rumah tetanggaku. Pohon-pohon di sekitar kami meliuk-liuk bagai menari. Bukan menari indah, tapi menari seperti orang mabuk, bergoyang-goyang ke kiri ke kanan mengikuti instruksi lempengan bumi yang bertubrukan. Tanah serasa akan retak. Aku dan keluargaku keluar rumah dalam keadaan cemas. Doa-doa mulai dilantunkan dari bibir dan hati kami. Keadaan maha dahsyat itu pastinya lebih terasa mengerikan lagi di Banda Aceh. Sejak kejadian GAM itu, Sarah dan adiknya dirawat oleh Makciknya, adik ibunya di sana, sementara abangnya tetap tinggal di Sigli bersama neneknya. Di sana pula ia dan adiknya saat peristiwa itu terjadi. Dahsyatnya gempa dan tsunami itu dapat kurasakan saat ia menceritakannya dengan berurai air mata.

Saat itu adiknya sedang berada di rumah saudara mereka yang lain. Ia berjuang melawan keganasan alam, begitu juga adiknya. Ia kemudian berhasil selamat, namun tidak adiknya. Kematian satu orang lagi yang ia sayangi begitu membekas hingga ia mengalami Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) sejak peristiwa tsunami itu. Mimpi buruk yang berulang-ulang sering dialaminya sampai ia tinggal di RAM hampir dua tahun kemudian. Para pengurus RAM dan teman-temannya di sana yang akhirnya menguatkannya. Ia dan beberapa temannya juga mengalami nasib yang sama. Kematian tragis orang-orang yang dicintai.

Dengan berbekal kesadaran remaja yang baru menginjak kelas 1 SMP dan kasih sayang yang ia terima dari orang-orang yang mengasihinya, ia pun mencoba bangkit. Melalui hari-hari di RAM dengan berusaha tersenyum dan berlaku ceria layaknya remaja yang sedang mekar. Ia mengikuti banyak kegiatan selain sekolah, dan sempat diangkat pula menjadi salah satu pengurus di asrama putri. Jabatan yang memungkinkannya untuk mengomandoi anak-anak asrama putri dalam hal kebersihan, kerapian, dan kedisiplinan. Meski kulihat ia bahagia tinggal di sana, namun sesekali masih kulihat air matanya ingin menetes dan kubiarkan saja menetes. Aku merangkulnya sebagai adik yang kusayangi. Kutularkan semangatku dan ia tularkan ketegarannya padaku. Sungguh, tak pantas rasanya aku bermuram durja mengingat betapa luar biasa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, yang masih sedikit kusampaikan di sini, dan ia masih berusaha tegar menantang kerapuhannya sendiri. Aku ingin ia bahagia dan kucoba memberikan sesuatu yang membuatnya bahagia. Meski aku telah merampungkan tugas kuliahku itu, namun sesungguhnya persahabatan kami takkan pernah selesai. Suatu kali kusempatkan untuk membawa ia dan seorang temannya berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Kumanjakan ia hari itu, dan aku begitu bahagia mendapatinya tersenyum bahkan tertawa lebih lama. Semakin hari rasanya kami semakin dekat. Kedekatannya denganku sering ia tunjukkan dengan meneleponku ke rumah bila ingin curhat atau sekedar menanyakan kabarku lewat SMS. Terkadang aku malu, kurasa ia lebih sering mengingatku. Ia sungguh-sungguh menyayangiku sebagai kakaknya dan ia tunjukkan itu saat ia memenuhi undangan pernikahanku. Ia datang bersama tiga orang temannya. Padahal aku tahu, peraturan di RAM cukup ketat untuk soal izin keluar bagi para anak asuhnya. Lagipula, pastinya itu tak mudah mengingat jarak RAM ke rumahku yang cukup jauh. Tapi ia tampak sangat bahagia saat itu. Binar di matanya mencerah lagi, dan aku bisa merasakan ungkapan perasaan dari dalam hatinya, bahwa ia mendapatkan lagi sekeping kebahagiaan dari persahabatan kami, dari sekian keping yang coba ia kumpulkan lagi satu per satu agar menjadi sebuah kebahagiaan yang utuh dan sempurna. >> Sarah adalah nama samaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline