Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Mewujudkan Tujuan Pemasyarakatan di Indonesia
Oleh : Annisa Primaharani
Keluarnya I Gede Ari Astina alias Jrx memperoleh sambutan luas dari publik media. Sambutan yang serupa perayaan tersebut mempunyai sisi sentimental kuat setelah personil band Superman is Dead ini memilih keringanan hukuman yang diberi pengadilan. Sikap Jrx untuk menolak haknya itu dianggap mencerminkan sikap mental kesatria. Jrx divonis bersalah atas kasus ujaran kebencian yang ditujukannya pada IDI. Dalam sebuah unggahannya pada platform media sosial Instagram, ia mengujar IDI sebagai kacung WHO. Bagi sebagian pihak perbuatan Jrx tersebut dianggap biasa saja, sementara sebagian lain menganggapnya serius karena terkait dengan kehormatan lembaga. Perbedaan sikap tersebut selanjutnya diatasi oleh pengadilan yang memutus Jrx telah berbuat salah.
Namun, tulisan ini tidak berfokus pada kasus namun pada persepsi orang-orang terhadap Jrx sebagai narapidana yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan. Di masa lalu terpidana kasus apa pun punya reputasi buruk di tengah-tengah masyarakat. Tak jarang pula beroleh stigma. Stigma yang melekati para terpidana tak jarang menimbulkan curiga masyarakat. Padahal bukan itu tujuan dilakukannya pemidanaan. Stigmatika umumnya tercipta sebagai efek samping metode penghukuman yang dipergunakan dalam suatu sistem pemidanaan.
Secara historis metode penghukuman pada awalnya dilakukan sebagai pembalasan dari atas suatu tindakan yang dianggap telah memperoleh kerusakan dan kerugian akibat tindakan tersebut. Pembalasan itu adalah pembalasan komunal, tidak dilakukan antar individu melainkan pembalasan oleh seluruh keluarga bahkan komunitas terhadap individu atau komunitas lain. Metode ini berasas pada adagium klasik yaitu Ius Talio yang berarti hukum balas membalas. Seiring dengan berkembangnya sistem kekuasaan dan konsep kenegaraan serta semakin kompleksnya hubungan kemasyarakatan menuntut berkembangnya pula metode penghukuman dalam suatu masyarakat. Orientasi penghukuman bukan lagi sebagai pembalasan antar komunitas melainkan usaha mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Penghukuman bukan lagi kepentingan orang antar orang atau komunitas antar komunitas, akan tetap kewajiban negara. Karenanya dengan cepat penghukuman masuk ke dalam sistem hukum publik (Takdir, 2013:19).
Pengaruh yang besar dari fisafat humanisme yang berkembang pada masa-masa abad pencerahan Eropa berperan besar dalam menggeser paradigma penghukuman menjadi apa yang dalam kosakata hukum Indonesia disebut dengan istilah pemasyarakatan. Dasar pemikiran dari konsep pemasyarakatan sebagaimana adalah reintegrasi sosial terpidana (Riyadi, 2016:5592). Konsep tersebut beserta dasar pemikirannya telah terakomodasi ke dalam hukum positif Indonesia yakni pada Pasal 2 UU 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Sulhin, 2010:136).
Peralihan paradigmatik metode penghukuman berbasis penjeraan atau penjara dan pembalasan menjadi pemasyarakatan telah dirintis sejak masa pemerintahan Sukarno. Bahkan kala itu Presiden secara langsung membacakan sebuah manifesto dalam sebuah pelayanan pemasyarakatan yang baru digelar untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengubah paradigma penghukuman (Citrawan, 2017:124). Perspektif nasionalisme sangat kuat saat itu sehingga semangat utama peralihan paradigma adalah membersihkan anasir-anasir kolonial dari sistem hukum Indonesia.
Tujuan utama dari pemasyarakatan menurut Pasal 2 UU No.12 Tahun 1995 adalah untuk membentuk terpidana manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat menyatu kembali ke tengah-tengah masyarakat. tujuan tersebut menyiratkan keterlibatan tidak hanya lembaga pemasyarakatan mewakili negara namun juga penerimaan masyarakat dalam membimbing para mantan terpidana. Hukum positif Indonesia telah mengakomodasi cara pandang humanistis perihal metode pemidanaan.
Kendati demikian, pemikiran baik yang terkandung dalam undang-undang tersebut bukanlah produk yang dapat secara otomatis terealisasi. Teks perundang-undangan dapat dimengerti sebagai wacana, dan tafsir atas wacana tidak dapat ditetapkan secara otonom oleh subjek tertentu namun juga melibatkan kekuatan sosial dan kekuasaan.
Meski telah mengalami peralihan paradigma pemidanaan ke dalam konsep pemasyarakatan, di dalam praktik tetap saja terjadi beragam kesulitan. Menurut Gatotoh (2011:237), praktik pemasyarakatan mengalami dilemma di antara dua kecenderungan itu kecenderungan perlindungan terhadap aspek keamanan masyarakat dan rehabilitasi para terpidana. Pada awal dekade 1990 lah terjadi perubahan praktik pemasyarakatan yang lebih manusiawi setelah sekian lama menerapkan pemenjaraan yang dehumanistis.
Hambatan yang mengemuka dalam praktik pemasyarakatan salah satunya berasal dari pemahaman para pihak terhadap konsep pemasyarakatan itu sendiri. UU No.12 Tahun 1995 sendiri sebenarnya telah menegaskan bahwa selain berwatak humanis pemasyarakatan juga berlandas pada Pancasila. Karenanya dalam praktik pemasyarakatan perlu mempertimbangkan dilakukannya pendidikan kewarganegaraan guna mengonstruksi kesadaran berkewarganegaraan yang baik. Ditambah tujuan antara pendidikan kewarganegaraan dengan pemasyarakatan secara esensial selaras satu sama lain.