Lihat ke Halaman Asli

Ketika Islam Dianaktirikan Penganutnya

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada seorang ibu, sebut saja Ibu Fulanah (IF) yang bercerita pada saya tentang nasibnya :-) yang tiba-tiba dijauhi tetangga yang biasanya saling bertegur sapa. Tetangga ini bahkan sering mengetuk pintu rumah IF, sekedar memberi infaq untuk pihak yang membutuhkan, yang biasa dikolektif oleh beliau. Tragisnya, tetangga tersebut kabur sembari meninggalkan belanjaannya di warung. Pemilik warung dan IF tentu saja dibuat heran.

Saya mencoba jadi pendengar setia. Dari semua cerita yang tertangkap, perubahan sikap tetangga IF diawali saat IF mulai berkerudung rapi, memakai baju terusan yang longgar & berkaos kaki. Yang biasanya nyuci di samping rumah tanpa kerudung karena riweuh alias repot, sekarang bela-belain menutup rambutnya, ngepel teras saja tetap rapi berkerudung. Ini belum begitu bermasalah.

Masalah sebenarnya muncul saat IF mulai bercerita pada para tetangga, termasuk ibu yang kabur dari warung itu, tentang kesempurnaan Islam. Kegamangan diri yang berstatus muslim tapi tidak begitu concern pada agama. Kerisauan, banyak sekali yang belum dimengerti tentang Islam padahal usia sudah lebih 40 tahun. Pencarian jati diri yang bisa dibilang...yah sedikit terlambat, di usia 41, walau tidak masalah. Ini yang membuat IF mulai mengulik-ulik Islam.

Hingga IF tersadarkan dengan satu ayat Al Qur'an, Udkhulu fi silmi kaafaah (Masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh)... dan seterusnya.

Mencari dan terus mencari, mengkaji, belajar, diskusi, tanya jawab bahkan konflik dilakoni untuk mendapat kebenaran. Ternyata, prinsip Udkhulu fi silmi kaafah, menjadikan Islam satu-satunya the way of life, aturan dari ujung rambut ke ujung kaki, mengatur hidup manusia sejak bangun hingga tidur lagi, hanyalah teori kosong yang jauh dari penerapan riil oleh umatnya sendiri.

IF sempat bersedih, mengapa dulu saat masih jauh dari Islam, serasa banyak sekali teman. Tetapi ketika mulai mengaji diri, ketika isi pembicaraan mulai mengarah pada kecintaan terhadap Illahi Rabbi, kepada Allah SWT Sang Khaliq, Al Mudabbir (Pengatur Hidup Manusia), teman itu hilang satu persatu. IF mulai dianggap aneh di lingkungan ISlamnya. IF mulai dianggap radikal dengan kecintaan yang utuh pada Penguasa Alam. IF bahkan menjadi satu nama yang harus dijauhi dari lingkungan yang belasan tahun dia tinggal di sana.

Lalu saya hanya berkomentar, Islam dulu datang dalam keadaan asing dan suatu saat akan kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang terasing :-). Tentunya saya mencoba memberi pendapat, bisa jadi cara kita berbicara, semangat yang berapi-api, ingin orang langsung berubah paham Islam seperti kita tanpa sabar dengan proses, sangat mungkin membuat kita dijauhi. Cobalah mendekati umat dengan kecintaan, seperti ucapan Rasulullah pada masyarakat Thaif yang menyuruh anak-anak dan orang-orang bodoh bahkan org gila Thaif melempari beliau. Rasulullah hanya berlari dan berkata pada Jibril, "Mereka belum mengerti." Padahal jika Rasulullah mau, Malaikat Jibril bisa membalikkan Bukit Nuur (Jabbal Nuur) ke Thaif.

Aaahh...inilah kita hari ini. Islam dan penganutnya belum menjadi satu, inheren. Islam ada di satu sisi, sementara umatnya di sisi lain. Memahami & mengkaji Islam kaafah dianggap kuno, terbelakang, kembali ke zaman onta. Berbicara Islam menimbulkan ketakutan, takut dicap teroris, takut jadi radikal, takut ga gaul, takut ga....dan sebagainya... Inilah Islam, yang pada faktanya menjadi anak tiri penganutnya. Allahua'alam bishawab. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline