Aku punya sahabat namanya elis, kami ketemu sekitar tahun 2005, pertama kali gw kerja di daerah jakbar, yang kebetulan tempat kerja ku dan dia berdekatan, singkat cerita kamipun menjadi teman kost kurang lebih tiga tahun. Elis adalah orang yang berfikiran maju biarpun berasal dari kota santri yang lumayan fanatik, cukup ambisius, smart, mandiri, tegas dan paling gak suka merepotkan orang lain, gengsinya lumayan tinggi menurutku.
aku paling suka dengan ketegasanya, juga kemanidirannya, dibanding aku yang kadang sibuk mengobral keluhanku sendiri dengan curhat ke dia atau orang lain, sementara elis sangat tertutup (terutama tentang masalah dengan kekasihnya), masalah yang menurutku bukan masalah malah kadang dia ceritakan ke orang tuanya. Sambil kerja dia pun kuliah sore harinya, padahal gajinyapun mungkin tak lebih sedikitpun jika harus membiayai kuliah dan kebutuhanya, tapi dia tetap dengan semangatnya, ingin pulang kampung dan memajukan kampun halamanya nanti jika dia sarjana.
Tapi di tengah perjalanan semua berubah haluan apalagi setelah dia mengenal kekasihnya.
setelah elis punya pacar kami tak kost bareng lagi, ada ketidak cocokan, entahlah kenapa sampai seperti itu. Tapi kami masih tetap berteman baik, meski tak lagi tidur bareng lagi dengan seseorang yg bisa mencerikan hal yang sama setiap hari sampai tengah malam, bahkan menjelang pagi.
Tahun 2007 elis beritahu aku, bahwa dia sudah nikah siri dengan pacar dia, sebut saja AA, menurut dia orang tua di kampung memaksa mereka menikah mendadak, hanya karena AA main ke kampungnya. Memang sangat wajar karena di sana lumayan fanatik dan sangat islami, padahal dia hanya ingin mengenalkan kekasihnya ke orang tuanya.
Pesanku sama dia jalani saja jika kamu yakin.
Hubunganku dengan diapun makin renggang, masing-masing dari kami sibuk, aku sibuk dengan pekerjaanku, begitu juga dengan dia, sibuk dengan kehidupan barunya.
Beberapa bulan kemudian, mereka resmikan pernikahan mereka, supaya mereka bisa hidup layaknya suami istri. Karena selama mereka hanya nikah siri, Elis tetap tinggal bersama kakaknya. Elis seorang yang sangat perfectionis, dia gak mau jadi bahan omongan orang / tetangga kakanya.
Setelah dia dan AA tinggal bareng kami makin jarang berkomunikasi, bahkan smspun, dan menurut elis, komunikasi dia dibatasi oleh suaminya, aku baru tahu th 2009 ini, setelah akhirnya aku gabung di kantornya as frelance sales.
aku makin dekat lagi dengan Elis setelah kami sekantor, dia sangat kurus, dari yg dulu lumayan montok saat kost denganku, hubunganku dengan AApun lebih baik, karena kami sering ketemu, saat dia jemput Elis.
sampai akhirnya aku lihat sering banget dia gak masuk kantor. Dan kata bos juga temen-temen yang lainpun bilang memang setelah menikah Elis sering gak masuk kantor.
Dia gak pernah terbuka sedikitpun, walau aku tau dia punya masalah, hanya sekedarnya dia bercerita, dan terus juga aku menyemangati dia.
Yang aku tau dia gak suka sama kakak iparnya dan keluarganya, dia pingin cerai saja dengan suaminya. Tapi tak pernah beritahu aku apa alasanya, dan aku paling benci dengan perceraianya, aku cuma minta dia pertimbangakan lagi.
Semakin hari masalah semakin banyak yang dia hadapi, sekitar pertengahan 2009, Kakak iparnya sakit, hanya beberapa hari di rawat meninggal, terlalu singkat memang. Penyesalan yang paling besar adalah bahwa dia tak pernah berprasangka baik terhadap kakak iparnya, bahkan dia sangat membencinya.
sebulan kemudian, suaminya (AA) sakit, di rawat di rumah sakit, Elis yang aku lihat agak cuek, bahkan dia lebih rajin masuk kerja dari pada mendampingi suaminya di RS. Oh yah, saat itu Elis lagi hamil muda lho.
sekitar hampir 1 bulan di rawat, AA-pun meninggal.
hhhmmmm.... berat sekali bukan...
setiap hari yang bisa ku lakukan cuma membuat dia agar lebih bersemangat lagi.. Dalam keadaan hamil ditinggal suami pula... aku sendiri bingung how to make her stronger..