Novel tentang sebuah kisah cinta di usia senja yang sangat menyentuh ini sudah saya miliki saat de Laras mengadakan sebuah acara talkshow dan bedah buku untuk mengenalkan, mempresentasikan "Keagungan Manah, Menepis Denting Nurani" (Keagungan Manah) di function room Museum Nasional (Museum Gajah) pada awal Desember 2021.
Acara tersebut sudah saya nantikan berhari-hari karena de Laras adalah salah seorang penulis favorit saya. Tulisannya bersahaja dengan kalimat-kalimat yang ringan tapi menyentuh dan mudah dipahami.
De Laras juga mampu mengolah diksi hingga perasaan kita bisa terhanyut sendu di setiap rangkaian diksi ilustratif yang dia rangkai.
Perkenalan pertama saya dengan de Laras dimulai saat saya bergabung dengan komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis (IIDN). Saat itu saya membeli salah satu buku antologi IIDN yang berjudul "PULIH, Kisah Perjalanan Bangkit Dari Masalah Kesehatan Mental." De Laras menjadi salah seorang kontributor di buku ini dengan artikel yang sangat mengharu biru.
Perkenalan kami pun kemudian berlanjut hanya sebatas dunia maya dan sama sekali belum pernah bertemu muka. Jadi saat de Laras mengumumkan bakal mengadakan event di atas, saya langsung melakukan reservasi. Terselip sebuah keinginan untuk bersapa langsung dan menikmati sebuah acara yang tentunya bermanfaat bagi seorang penulis pemula seperti saya.
Memahami Hubungan Cinta di Usia Senja Antara 2 Tokoh Utama, Btari dan Bayu
Saya membaca Keagungan Manah dalam beberapa tahapan waktu.
Saya memutuskan untuk melakukan hal ini karena banyak sekali insight yang ingin saya selami. Khususnya dalam memaklumi sebuah hubungan, sehingga harus membaca ulang di beberapa bagian tulisan.
Diksi yang terurai dengan sangat dalam tentang perasaan, harus kembali saya cerna untuk makin mendekatkan hati serta menyelami apa yang dirasakan oleh 2 tokoh utama yaitu Btari dan Bayu.
Penokohan yang tentunya butuh waktu untuk digali, dilamati, dipoles, hingga karakternya begitu kuat ditampilkan untuk Keagungan Manah.