Fase panjang kehidupan dengan berbagai rona telah dihadapi Cahaya. Ia bersyukur karena telah mealalui semua fase hidupnya yang seringkali tidak mudah. Menjalani hidup sebagai anak dengan orang tua yang tak harmonis namun mempunyai saudara-saudara yang baik hati seakan mampu melebur kesukaran yang ia alami.
Ia sadar bahwa hidup yang telah dijalani seakan telah menempanya menjadi gadis kuat, tak mudah sakit, mandiri dan mampu melihat segala yang terjadi sebagai jalan hidup yang akan berguna bagi kehidupannya nanti. Sekolah, kuliah, kerja telah ia lalui. Kini, saatnya ia memikirkan fase hidup selanjutnya, yakni menikah.
Melihat Novi dan Udin, temannya yang telah menjalin hubungan lama, yakni tiga tahun lamanya namun akhirnya kandas juga, membuat Cahaya berbicara serius kepada Ahmada untuk merencanakan tentang masa depannya. Namun karena Ahmada belum mendapatkan pekerjaan yang tetap, akhirnya ibu Cahaya belum me-ngizinkannya menikah.
"Ayo kapan bicara serius kepada ibu?" tantang Cahaya.
Seperti biasa, Ahmada yang selalu datang ke rumah Cahaya setiap dua mingu sekali mulai memberanikan diri berbicara kepada ibu Cahaya. Setelah menyuguhkan dua gelas teh hangat di meja, Cahaya langsung masuk rumah dan segera memanggil ibunya.
"Mik, ada yang mau ngomong. Kata-kata kepada ibunya." Ibunya pun langsung menemui Ahmada yang sedang duduk di ruang tamu.
"Ada apa ya Le?" tanya Mardiyah.
"Gini Mik, saya bermaksud menjalin hubungan serius dengan Cahaya," jawab Ahmada perlahan dengan tegas.
"Ya gak apa-apa Le, Emik juga merestui selama ini jika Cahaya berhubungan dengan kamu. Tapi alangkah baiknya kalau kamu punya pekerjaan yang tetap dulu," terang Mardiyah.
"Sebenarnya juga saya maunya begitu Mik, tapi Cahaya itu yang minta agar segera menikah," jawab Ahmada lagi.
"Ya sudah, nanti Emik yang akan ngomong ke Cahaya. Ayo diminum dulu tehnya," kata Mardiyah yang paham akan kegalaun yang dihadapi Ahmada.