Lihat ke Halaman Asli

Anni Rosidah

Penulis Buku Arah Cahaya

Arah Cahaya Part 15 (The Power of Kepepet)

Diperbarui: 7 September 2023   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Moda transportasi kereta api yang selalu setia digunakan Cahaya setiap berangkat dan pulang ke kampung halaman, pelan-pelan mulai Cahaya tinggalkan. Hal itu, karena kereta api hanya bisa mengantarnya pulang dengan jadwal yang ada, tidak bisa sewaktu-waktu. Transportasi kereta api diambil Cahaya karena ia sering mabuk perjalanan. Jangankan sampai luar kota, naik mobil antar desa saja pasti pusing kepala. Selain itu, tarif yang murah juga seakan jadi primadona. Namun, dua tahun selama kuliah, Cahaya mulai jarang naik kereta api. Ia lebih sering naik bus yang bisa mengantarkan sewaktu-waktu tampa menunggu waktu lama.

                Suatu hari, Ujian Akhir Semester kuliah, hari terakhir tiba di hari ketiga sebelum hari raya. Sudah banyak mahasiswa yang protes karenanya, tak terkecuali Cahaya. Jangankan naik bus H-3, H-7 saja pasti sudah terasa begitu beratnya. Ketua Kosma/kelas sebenarnya sudah me-ngusulkan jadwal UAS dimajukan, tapi ternyata tidak bisa. UAS yang dijadwalkan jam 13 siang, seakan begitu berat bagi Cahaya.

Kalau saja tidak UAS, pasti ia tidak akan masuk kuliah. Siang itu, setelah salat Zuhur, Cahaya bersiap kuliah dan dan langsung pulang mudik. Tas ransel sudah siap di punggung, dipadu dengan memakai celana jeans berwarna biru longgar dan hem khasnya yang senada saat kuliah. Cahaya berjalan menyusuri jalan setapak kecil untuk sampai ke kampusnya.

                Siang yang begitu panas seakan menambah beratnya suasana. Sudah bisa dibayangkan bagaimana nanti suasana terminal yang pasti ramai lalu lalang penuh dengan penumpang. Hal yang sangat tidak diinginkan Cahaya. Segera setelah menyelesaikan soal-soal ujiannya, Cahaya langsung berjalan ke arah luar kampus dengan tergesa-gesa. Tak dihiraukannya teman-temannya yang masih sibuk bertanya tentang soal-soal yang telah dikerjakannya. Baginya, segera sampai ke rumah adalah hal yang sangat diinginkannya.

                Sebelum naik bis kota, sebenarnya hati Cahaya ragu. Mengambil uang di ATM dulu atau langsung pulang. Maklum, uangnya tinggal tujuh ribu saja. "Tarif bus kota hingga terminal dua ribu, dan bus sampai ke kotanya lima ribu. Sudah cukup," pikirnya. Sesampai di terminal, Cahaya langsung menuju ke tempat bis yang mengantarkan ke kota tujuannya. Tak dihiraukannya suara para calo yang sedari tadi ingin menggandengnya. Cahaya sudah paham betul dengan tempat dan bus mana yang akan dinaikinya. Jika musim mudik seperti ini, ketika ditanya calo dan kondektur bus, maka tak bisa kita menyebutkan dengan sebenarnya. "Bilang saja mau ke Jogya. Karena kalau tidak, maka tidak akan ada bus yang mau menampungnya. Hal itu mungkin pihak armada lebih mendahulukan tujuan jarak jauh dari pada sekadar menuju Jombang, Nganjuk atau Kediri," gumamnya dalam hati.

                Dan benar saja, Cahaya langsung masuk ke bus warna hijau tujuan Jogya dengan diantar kondektur busnya. Ia segera mencari tempat duduk kosong di baris kelima dari depan dengan tiga kursi dan dua penumpang bapak-bapak di pinggirnya. Segera ia menaruh tas ranselnya yang sedari tadi dipakai ke bawah, di antara kakinya.

Setelah memperoleh posisi yang pas, Cahaya dengan ramah menyapa sambil tersenyum kepada bapak-bapak penumpang di sebelahnya. Tak sengaja pandangannya tertuju pada bagian depan bus, sebelah tempat tv yang ada tulisannya. Tertulis tarif harga baru armada saat lebaran. "Ya Allah, Jombang lima belas ribu. Uangku hanya lima ribu. Bagaimana ini? Masak hutang sama bapak-bapak sebelah yang tidak dikenalnya. Nanti kalau diturunkan di tengah jalan bagaimana," batin Cahaya dalam hati dengan cemasnya.

                Tak ada sesuatu yang bisa dilakukan Cahaya. Ia hanya pasrah dan berdoa agar Allah memberi pertolongan padanya. Berdoa, berselawat dan segala ayat Al-Quran yang ia bisa, dibacanya. Ratusan bahkan mungkin ribuan kali doa dan selawat ia baca. Tubuhnya berkeringat dingin dan pucat pasih wajahnya. Dua puluh menit setelah berangkat dari perjalanan, kondektur mulai menarik uang kepada penumpang-penumpangnya. Menulis dan menyobek karcis dengan tujuan sesuai perkataan penumpangnya.

Ternyata, tidak semua penumpang ditarik secara rata. Beberapa sudah ditarik diterminal saat pertama kali masuk. "Yogya," kata penumpang ibu-ibu di depan Cahaya sambil memberikan uang lima puluh ribu kepada kondektur bis masih muda dan lumayan tampan itu. Seketika wajah Cahaya bertambah tegangnya. Berdo'a dan berselawat tak henti-hentinya ia lantunkan dalam hati. Dan benar adanya, kondektur bus tersebut tak meminta uang tarif kepada Cahaya. Ia bahkan langsung berjalan ke arah belakang melanjutkan menarik ke penumpang lainnya.

                Bagai lepas dari puluhan lilitan tali tambang dari dadanya, Cahaya mulai bisa bernapas lega. Cahaya yang dari tadi menahan napas dan takutnya seakan telah sampai pada titik bersyukurnya. Meski belum sepenuhnya bahagia, karena mungkin saja nanti kondektur bus itu akan datang menghampirinya, Cahaya terus saja melanjutkan do'anya. Hingga sampailah pada tempat tujuannya, Cahaya segera mengambil tas yang sedari tadi diletakkan di atas sepatu yang dipakainya dan dibawanya dalam pelukannya. Segera berdiri dan berjalan menuju ke arah sopir dan kondektur berada.

"Jomplangan kereta," katanya kepada kondektur ganteng yang memakai kaos hijau dengan setelan celana jeans, baju masuk dengan sepatu casualnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline