Lihat ke Halaman Asli

Anni Rosidah

Penulis Buku Arah Cahaya

Arah Cahaya Part 11 (Sahabat)

Diperbarui: 7 September 2023   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski diperlakukan layaknya prameswari, namun sepertinya tak dapat meruntuhkan hati Cahaya untuk menerima ajakan untuk menikah. Laksana tembok raksasa China yang menjulang tinggi sebagai pembatas keteguhan hati. Mungkin, banyak orang akan berpikir dua kali dihadapkan pada situasi seperti ini. Namun, bagi Cahaya jawaban apa yang bisa diberikan seorang gadis berumur 18 tahun yang baru akan lulus Madrasah Aliyah dan punya harapan tinggi untuk me-lanjutkan kuliah.

Saat ada seorang pria yang nyata-nyata me-ngajaknya berumahtangga. Apalagi lelaki yang mengajaknya berumah tangga baru saja dikenalnya. Tak lain hanya bisa menolaknya dengan halus karena masih banyak asa yang ingin diraihnya. Begitu pun Cahaya. Cahaya Insani, gadis lugu dari desa yang bertemu dengan lelaki mapan dan kaya. Namun, karena waktu yang belum saatnya, akhirnya ia pun mengabaikannya. Bukan karena sombong dan tak ingin bahagia, lebih dari itu, menurutnya semua sudah ada saatnya. Laksana lapar dan dahaga yang mampu dirasa jika sudah saatnya, maka ia pun yakin bahwa dunianya masih perlu banyak Rona.

                Setelah pertemuan pertama dan terakhir itu, Cahaya kembali melanjutkan kehidupannya. Kisahnya dengan teman prianya Ary dan Heru yang tiada kelanjutannya seperti tak dipermasalahkannya. Hubungannya dengan Ary, teman sekelasnya, Kelulusan dari Madrasah Aliyah-nya seakan menjadi pemutus hubungan. Teman dekat, sahabat, penyemangat, itulah nama hubungan yang ia berikan kepada teman sekelas dan teman barunya. Ia tak ingin seperti beberapa temannya, frustasi dan hilang arah, tak  mementingkan masa depannya karena lebih fokus dengan pacaran saja.

                Laksana mantra yang tak mempan akan ke-saktiannya, tidak ada sedikit penyesalan pun rasa ketika menolak keseriusan Heru. Lelaki tampan dan mapan dari kota besar yang baru dikenal. Meski begitu, nampaknya pesan terakhirnya, seakan membekas di hati. "Kuliahlah di kota seperti yang kau ingin. Tapi kalau bisa, ambillah kampus agama," pesan itulah yang selalu terngiang-ngiang dalam benak Cahaya. Cahaya yang saat itu berniat ikut UMPTN pun akhirnya memutuskan niatnya. Ia mengambil kuliah di Kampus agama Islam di Surabaya. Kampus agama seperti yang diinginkan oleh pria yang baru dikenalnya.

                Beberapa minggu setelah mendaftar kuliah, rasa bahagia menyeringai di pipi Cahaya saat melihat namanya merupakan salah satu dari ratusan mahasiswa yang diterima di kampus agama terbesar di Surabaya itu. Bagi Cahaya, seorang gadis desa yang lugu, kini pulang pergi ke kota sudahlah biasa. Bahkan di awal kuliah, seminggu sekali ia bisa pulang pergi Surabaya-Jombang dengan kereta. Transportasi yang cepat dan murah harganya. Meski sering kali tak kebagian tempat duduk, duduk di depan toliet, bahkan di depan pintu yang sangat ia suka.

Ia pun sudah menemukan tempat kos yang tidak terlalu jauh dari kampus. Saking senangnya bisa kuliah, Cahaya yang sering kali sakit saat menuai masalah, kini sembuh untuk selamanya. Sakitnya seakan hilang entah ke mana. Mungkin, kini tak lagi menyaksikan orang tuanya yang selalu bertengkar. Dan mungkin, kini hidupnya jauh lebih bebas dan luas dengan teman-teman yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia bahkan negara tetangga, Malaysia. 

                Saat kuliah, ia pun menemukan teman-teman yang begitu baik dan seakan sudah kenal lama. Begitu dekat dan akrab tanpa memandang dari mana asalnya. Tak lupa, ia bersyukur kepada Allah atas kemudahan yang didapatkan saat kuliah. 

Betapa tidak, uang kuliah tidak hanya diperoleh dari ibunya. Yasif, kakak laki-laki yang sedari awal mendukungnya untuk kuliah juga memberikan suplai dana yang tidak sedikit jumlahnya. Apalagi, Yasif bekerja di kapal barang jurusan Surabaya-Makasar itu mempunyai gaji yang lumayan. Ditambah lagi dengan pemasukan tambahan dari berdagang barang-barang yang dibeli dari Surabaya untuk dijual ke Makasar dan begitu pun sebaliknya, membeli barang-barang dari Makasar untuk dijual di Surabaya.

                Suatu hari, saat kapal dari Makasar ke Surabaya sandar di pelabuhan tanjung perak untuk membongkar muatan, Yasif langsung menghubungi Cahaya, adiknya.

"Mbak Cahaya, telepon dari masnya," suara ibu kos terdengar keras memanggil Cahaya dari sebelah kosnya.

Dua rumah yang berdempet itu adalah rumah ibu kos dan rumah kos yang ditempatinya. Awalnya, telepon hanya ada di rumah ibu kost saja. Namun karena tidak ingin selalu merepotkan ibu kost saat ada telepon untuk anak-anak kosnya, akhirnya sambungan teleponnya dibuat paralel dan hanya bisa digunakan untuk menerima telepon saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline