Lihat ke Halaman Asli

Anni Rosidah

Penulis Buku Arah Cahaya

Arah Cahaya Part 2 (Sakit, Antara Minda dan Salira)

Diperbarui: 7 September 2023   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu berjalan pelan seakan enggan bangkit dari buaian. Sedih dan duka menghampiri me-nambah syahdu sedan keheningan. Berjuta rona kehidupan perlahan tapi pasti menghampiri segala perubahan. Laksana air mengalir dari atas ketinggian, menuju celah tanpa bisa dikendalikan. Itulah kehidupan. Setiap pergantian detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun mampu menghadirkan berjuta pengharapan. Harapan akan indah dan berwarnanya masa depan.

Tak kercuali bagi insan lemah yang selalu haus buaian dan kasih sayang. Kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua bagi anak-anak manusia. Tapi apalah daya, Rona kehidupan yang berlapis banyaknya menawarkan berjuta keadaan. Tak semua sempurna, tak semua sesuai dengan mau kita. Perlu usaha dan do'a agar indah rona mengampiri setiap lika-liku hidup kita. Itu juga yang dihadapi Cahaya Insani, seorang gadis desa yang lugu dan pendiam yang tak kuasa menahan lara. Lara karena masalah dalam keluarga. Sakit yang dialaminya, antara minda dan salira.

Hari ini, entah sudah berapa kali Cahaya sakit. Sejak duduk di bangku SLTP, setiap kali menghadapi ujian atau ada masalah di rumah yang menyangkut orang tuanya, sudah bisa dipastikan Cahaya akan mengalami sakit berhari-hari hingga berminggu-minggu lamanya. Begitu pun ketika menginjak bangku Madrasah Aliyah (setara SLTA), setiap ujian atau ada masalah, ia selalu saja sakit. Sakit yang belakangan didiagnosa dokter sebagai penyakit Typhus kronis, namun tidak mengharuskan Cahaya untuk opname di rumah sakit. Apalagi, Cahaya termasuk anak yang sangat susah minum obat. Entah ini obat yang ke berapa kali ia buang saat ibunya menyuruh minum obat agar cepat sembuh.

Meski udara begitu panas yang seakan mampu mengeringkan tumpukan pakaian, namun tidak yang dirasakan Cahaya. Ia merasa kedinginan di tengah panasnya puncak musim kemarau. Suhu tubuh yang sangat tinggi, menggigil kedinginan selalu dirasakan saat sakitnya kambuh.

"Ayo minumlah obat ini, supaya cepat sembuh," pinta Mardiyah, ibu Cahaya sambil menyodorkan enam macam obat dengan berbagai ukuran yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya beserta sebuah pisang dan segelas air juga segelas besar susu putih hangat.

"Nanti habiskan susunya ya, Nduk. Kamu kan tidak mau makan sama sekali," ucap Mardiyah dengan sabar.

Cahaya hanya mengangguk sambil bangun dari tidurnya perlahan. Kali ini Cahaya tidak bisa menolak. Segera ia minum obat yang diberikan ibunya meski dengan usaha ekstra agar obat itu bisa masuk ke tubuhnya tanpa muntah. Setelah beberapa menit minum obat, tampak keringat dingin bercucuran dari keningnya, segera dibuka selimut cokelat tebal yang sedari kemarin malam tidak pernah dilepasnya.

Hal seperti itu terjadi hingga berulang-ulang. Setelah minum obat, suhu tubuhnya akan berangsur dingin, dan delapan jam kemudian akan panas lagi hingga obat dari dokter habis tapi belum juga membaik kondisinya.

                "Ayo, kita periksa ke dokter lagi, obatmu sudah habis," pinta Mardiyah sambil membawakan jaket tebal bersiap-siap berangkat.

                "Aku diantar bapak saja, Mik," pinta Cahaya kepada ibunya.

                Emik adalah pangilan kepada ibunya yang waktu kecil terasa galak, tapi ketika anak-anaknya remaja, serasa menjadi teman yang begitu sabar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline