Lihat ke Halaman Asli

ANNEKE VIRNA MURDOKO

Terus Menapak Meski Terdapat Halang Rintang

Gaung Gamelan dalam Liturgi Gereja Katolik

Diperbarui: 6 Maret 2022   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Paroki Palemdukuh

Konsili Vatikan II telah mengubah tata peribadatan Gereja, dimana imam diizinkan merayakan Misa dalam bahasa lokal. Tidak hanya itu saja, musik Gereja pun berkembang dengan dikeluarkannya izin penggunaan berbagai alat musik dan lagu yang menggunakan bahasa daerah.

Vatikan bahkan memberi kebebasan pada musisi dan pujangga Gereja untuk menciptakan musik dalam bahasa mereka sendiri dengan instrumen yang mencerminkan tradisi dan budaya mereka sendiri.

Para Misionaris Katolik jauh melanglang buana menyebarkan Injil di penjuru dunia selama berabad-abad. Hasilnya, agama Katolik memiliki beragam rupa praktik peribadatan yang akhirnya berkontribusi pada keputusan Gereja untuk merangkul inkulturasi. Dalam konteks ini, inkulturasi berarti gambaran agama Kristiani yang dapat dikontekstualisasikan dalam praktik dan tradisi budaya lokal.

Pulau Jawa di Indonesia menjadi salah satu tempat para Misionaris Katolik berlabuh selama masa kolonialisme. Ratusan tahun mereka habiskan untuk menanam ajaran Katolik pada masyarakat lokal melalui berbagai pendekatan, salah satunya melalui gamelan.

Gamelan merupakan seperangkat alat musik tradisional bertangga nada pentatonis yang terdiri dari alat musik tiup, petik, gesek, dan tabuh yang dimainkan bersamaan sehingga dapat membentuk harmoni. (Welianto, 2019)

Elizabeth Hamilton (2018) dengan penelitiannya yang berjudul “Dari Organ ke Gamelan: Tradisi Musik Katolik Jawa di Yogyakarta Jawa Tengah” mendeskripsikan dengan apik tentang bagaimana Gamelan dimanfaatkan sebagai pengiring misa.

Elizabeth mengisahkan dengan rinci perjalanan musik Gereja Katolik yang awalnya hanya diperbolehkan menggunakan organ hingga Konsili Vatikan II memberi terobosan penggunaan alat musik lokal sesuai daerah masing-masing. Hal tersebut tentu berhubungan dengan bagaimana Gamelan akhirnya digunakan di Jawa sebagai media menyebarkan agama Katolik juga.

Sumber gambar: Kompas

Sejalan dengan Elizabeth, Luca Pietrosanti (2019) dari Italia menerbitkan penelitian berjudul “Gamelan dalam Liturgi Katolik di Yogyakarta”. Luca membeberkan fenomena lagu-lagu liturgi dari sudut pandang musik yang ketat sesuai tangga nada Gamelan.

Luca menyoroti bagaimana pembawaan lagu liturgi dipengaruhi karena paduan suara lebih terbiasa menyanyikan lagu-lagu bersama dengan organ atau acapela, daripada bersama gamelan.

Dalam tradisi barat, lagu Gereja Katolik yang dibawakan dengan organ memecah suara menjadi sopran, alto, tenor dan bass. Sedangkan Gamelan menggunakan laras pelog dan slendro yang bermain dalam bentuk ‘tanya jawab’ antara sindhen sebagai penyanyi dan niyaga sebagai pemain Gamelan.

Apabila dinilai dari sudut pandang teori kritis, Gamelan pada Liturgi Gereja Katolik dapat dikaji dengan teori Kajian Budaya atau Cultural Studies. Kajian Budaya dalam konteks ini berarti sebuah kajian sosial yang memiliki model analisis sebagai hasil karya Center for Contemporary Cultural Studies, Birmingham (Kellner, 2001:395).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline