[caption id="attachment_150052" align="aligncenter" width="270" caption="Timnas U-23 picture from www.antaranews.com"][/caption] Setiap malam warung kopi itu selalu ramai. Malam ini pengunjungnya lebih ramai dari malam-malam biasa. Karena banyak yang ingin menyaksikan pertandingan Tim Nasional Indonesia U-23 berhadapan dengan Tim Nasional Malaysia di Gelora Bung Karno. Fa’iq, lelaki berkulit sawo matang dengan model rambut cepak dan kacamata minus. itu duduk dikursi paling dekat dengan televisi. Dia hanya diam, menyaksikan dengan khusyu setiap gerak langkah pemain merah putih. Berbeda dengan para penonton lainnya yang selalu riuh mengomentari aksi para pemain di lapangan hijau. Hanya kata “Aduh!” yang selalu terucap dari bibirnya sambil menepuk pelan lutut atau menggaruk kepala. Seperti merasakan kesakitan saat melihat Ferdinand Sinaga gagal memanfaatkan peluang untuk mencetak gol, kekalahan Yongki dalam duel diudara atau kontrol bola yang kurang cermat. # # # Tinggal di pemukiman padat penduduk yang kumuh. Rata-rata warganya bekerja sebagai kuli panggul dipelabuhan dan nelayan kecil yang lebih banyak bekerja menggunakan otot daripada otak. Di mata mereka Fa’iq hanyalah pemuda pengangguran. Karena setamat SMA Fa’iq tidak melanjutkan kuliah dan enggan mencari pekerjaan seperti kebanyakan anak muda lainnya. Sebenarnya dia sedang merintis usaha sendiri namun segala upayanya tidak pernah dipandang dan sering disepelekan. Bahkah oleh saudaranya sekalipun. Fa’iq cukup memahami saudaranya yang hanya tamatan sekolah dasar, harus bekerja keras setiap hari untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Wajar bila mereka tidak bisa memahami pola pikirnya yang hidup di era modern dengan perkembangan teknologi. Dia ingin menciptakan perubahan agar kehidupan masyarakat disekitarnya bisa menjadi lebih baik. Tapi orang-orang tidak pernah memikirkan niat baiknya itu. Karena itu dia terus berusaha keras untuk membuktikan pada semua orang apa yang dilakukannya akan berhasil walau harus menerima dicela dan dihina. # # # Dibabak kedua. Gawang Timnas yang dijaga oleh Andritany sudah kebobolan satu gol. Warung kopi itu semakin riuh. Teriakan-teriakan yang terdengar bukan lagi sebagai bentuk dukungan melainkan cela dan hujatan kepada Titus Bonai dan kawan-kawan karena tidak bisa menciptakan gol balasan. Fa’iq masih duduk ditempatnya. Kakinya bergarak-gerak dan beberapa kali secara spontan menyepak kaki meja seakan ikut bermain di Gelora Bung Karno. Memasuki masa injury time para penonton semakin pesimis. Timnas bisa menang. Peluit panjang ditiup wasit mengakhiri pertandingan dengan kekalahan Timnas Indonesia 0 – 1 dari Timnas Malaysia. Fa’iq bangkit dari duduk sambil meregangkan badan karena duduk terlalu lama dengan perasaan tegang. Wajahnya memerah menahan emosi dan kesedihan. Celaan dan hujatan kepada pemain Timnas semakin menjadi-jadi. Membuat seorang anak kecil menangis sedih. Mirisnya, tangisan anak berkostum merah putih itu malah menjadi bahan tertawaan “Realistis dong kawan Timnas memang tidak ada apa-apanya! Haha....” ucap seseorang, disambut tawa oleh yang lainnya membuat tangis anak itu semakin keras. “Bukk!!” Tiba-tiba Fa’iq melayangkan tinjunya ke wajah orang itu dan tidak lain adalah abangnya sendiri. Membuat orang-orang terkejut dan langsung memisahkan keduanya. “Tidak sadarkah abang! Ada darah kakek buyut yang muncrat terkena peluru saat mengusir penjajah dari negeri ini. Berjuang agar bisa menjadi bangsa yang merdeka!” Emosi Fa’iq meluap karena sikap abangnya yang berlebihan. “Itu memang tidak pernah tercatat dalam sejarah bangsa ini tapi tak bisakah abang menghargainya?!” “Iya aku tahu, tapi apa hubungannya dengan sepak bola?” menyeka darah yang mengalir dari bibirnya. “Apa hubungannya dengan sepak bola? Ini pertandingan harga diri bangsa bang! Mestinya kita berikan dukungan penuh. Sampai kapan bangsa kita dipecundangi bangsa lain. Batas wilayah yang digeser, kekayaan budaya yang diklaim karena banyak warga bangsa ini yang berpikirnya seperti abang. Menginginkan kemenangan namun tidak bisa bersikap menang. Pesimis! hanya bisa menghujat tidak pernah menghargai mereka-mereka yang berjuang membawa nama baik bangsa ini.” Fa’iq mengusap butiran air matanya lalu melangkah meninggalkan warung kopi itu. Menyisakan tatapan orang-orang yang seperti baru tersadarkan oleh hipnotis kerasnya hidup yang mereka jalani selama ini. End Tembilahan Hulu, 18 Movember 2011 00.50 Tribute to TIMNAS U-23. “Dibutuhkan lebih dari sekedar keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Melakukan perubahan berarti mengambil resiko untuk di cela, dihina bahkan dibenci. Seiring waktu dunia akan mengakuinya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H