Pilkada Langsung dan Pilkada lewat DPRD sebenarnya bukan pertentangan antara sistem demokrasi dan bukan demokrasi. Pilkada lewat DPRD juga demokratis, sebab rakyat terlibat langsung menentukan siapa yang menjadi wakil mereka.
Pilkada lewat DPRD sama sekali tidak merampas hak politik warga negara. Warga tetap berpartisipasi menentukan siapa-siapa yang akan menjadi wakil mereka yang berwenang memilih kepala daerah.
Praktek perwakilan seperti ini sudah lumrah, banyak negara yang melakukannya, dan baik. Bahkan, di negeri paling demokratis seperti Amerika, pemilihan Presiden berjalan secara tak langsung. Pemilih mewakilkannya pada Electoral College.
Jadi, tak tepat memasukkan soal demokrasi atau bukan dalam polemik Pilkada.
Pilkada langsung yang jelas telah terbukti membawa masalah, diantaranya sebagai berikut:
1. Boros: dalam melaksanakan Pilkada langsung pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk surat suara, kotak suara, bilik suara, petugas pemungutan suara hingga sosialisasi. Untuk keperluan semua itu biaya pastinya sulit diketahui (mengingat keberagaman geografis, demografis, dst.). Tapi jumlah gelondongannya mencapai 160an triliun untuk 500 daerah di Indonesia (lihat).
Dana sebesar itu tentu lebih baik digunakan untuk membiayai pembangunan insfrastruktur seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan sebagainya yang masih jadi kendala sosial bangsa ini.
2. Konflik Sosial: Hingga 2013 Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 50 korban jiwa akibat konflik horisontal yang menyertai Pilkada langsung. Kerusuhan itu terjadi di Papua, Palopo Sulawesi, dan beberapa daerah lain.
3. Melahirkan koruptor: 290kepala daerah tersangkut korupsi. Untuk maju dalam Pilkada seorang calon harus merogoh kocek puluhan milyar (ratusan milyar untuk kelas DKI dan kota besar lainnya). Maka sangat masuk akal ketika terpilih, kepala daerah harus memikirkan cara cari duit untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan.
Tentu banyaknya kepala dearah yang tersangkut korupsi bukan semata karena mahalnya biaya maju menjadi kepala daerah--buruknya pola rekrutmen partai politik, lemahnya sistem hukum, turut andil mengapa kepala daerah korupsi; tapi menafikan faktor besarnya sangat naif dan tak masuk akal.
4. Melahirkan raja-raja kecil. Keluarga Ratu Atut misalnya. Suami, adik (kandung, ipar dan tiri), ibu tiri, anak-anaknya menguasai kehidupan sosial politik di Banten. Pilkada langsung menjadikan elit-elit lokal semakin berkuasa.
Pilkada Lewat DPRD
1. Tetap demokratis: karena kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat.
2. Irit: diprediksi mampu menghemat anggaran negara hingga Rp puluhan triliun. Dana ini bisa digunakan untuk pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan memodali usaha kecil dan menengah.
3. Efisien: tak melalui proses panjang, hingga menunggu hasil sengketa di Mahkamah Konstitusi
4. Memungkinkan terpilihnya calon dari partai yang berkualitas dan kompeten menjadi kepala daerah.
5. Memperkuat posisi DPRD di hadapan Kepala Daerah. Banyak kepala daerah pilihan rakyat buruk. Selama ini DPRD sama sekali tak bernyali mengkritik mereka karena mereka merasa tak menentukan keterpilihan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H