Membaca berita ada seorang menteri yang mau melarang siswa membawa handphone ke sekolah, jadi lucu rasanya, kita hidup dijaman apa bu? Bukannya dilarang, justru harus dibelikan gadget untuk dibawa ke sekolah!
Ya, itulah yang terjadi di Kenya, sebuah "negara kecil" nun jauh di Afrika Timur saja sudah mulai memikirkan bagaimana agar digitalisasi terjadi di sekolah. Mereka menggunakan perangkat "Kio Kit", ciptaan perusahaan teknologi lokal, dimana berupa koper berisikan server dan puluhan tablet/gadget. Materi pelajaran bisa didownload di server, kemudian didistribusikan ke tablet2 yang ada supaya bisa digunakan secara offline.
Dan kerennya, lihat background gambarnya? Bangunan sekolah dan kelas yang sangat sederhana!
Bukan teknologi Kio Kit yang ingin kita bahas disini. Tetapi kesadaran bahwa teknologi sangat penting untuk SEGERA diimplementasiken di dunia pendidikan Indonesia. Jangan karena takut konten porno dll, kemudian menolak teknologi, semua anak sampai negara antah berantah saja sudah memakai gadget, kita mau tetap memakai buku tulis?? Hahaha...
Pak Anis Baswedan sudah pernah mengatakan ingin menerapkan penggunaan tablet/gadget (sabak), tetapi sayangnya hingga kini masih tidak jelas pelaksanaan programnya. Padahal ini adalah kunci untuk mengejar ketertinggalan kita yang sudah terlalu jauh, tanpa terobosan/melompat, kita tidak akan pernah mengejar ketertinggalan tersebut.
Ketika dunia justru sudah meninggalkan bangunan sekolah dengan berubah menjadi belajar dimana saja dan kapan saja, kita malah sibuk membangun sekolah, lagi-lagi ketinggalan kereta. Apalagi dengan budget terbatas, sangat aneh bila kita terus memikirkan pembangunan fisik (proyek dan proyek), dan tidak berpikir untuk terlebih dahulu membuka akses materi edukasi seluas-luasnya ke seluruh Indonesia.
Penerapan Tablet/Gadget (Sabak) untuk Pendidikan sangat-sangat luas manfaatnya :
- Konten bisa dibuat multimedia, sehingga asyik dan mudah dipahami oleh anak2.
- Konten dari prasekolah, TK hingga kuliah semua ada dan gratis tis !
- Bahkan buku2 cerita bisa tidak terbatas jumlahnya, perpustakaan ada di genggaman setiap anak! Konten dari swasta juga bisa dijual dengan harga ekonomis seperti harga aplikasi saat ini yang Rp 10.000/an.
- Konten dan aplikasi dapat diatur dan difilter dari pusat, sehingga aman buat anak2.
- Bahkan pemerintah bisa menambahkan konten untuk keluarga (orang tuanya), misalnya tentang pertanian, nelayan, wirausaha, keuangan keluarga, berdagang, kesehatan = tidak terbatas informasi apapun bisa disampaikan pemerintah ke rakyatnya dengan hitungan detik!
- Termasuk program revolusi mental dan pembangunan karakter dapat dengan mudah disampaikan ke seluruh rakyat.
- Dan hebatnya lagi semua bisa dipantau, apakah informasi diterima, apakah aplikasi digunakan dst = terjadi interaksi 2 arah antara rakyat dan pemerintahan daerah/pusat!
- Internet bisa diadakan di kantor desa, dimana materi bisa didownload dan dilihat offline.
Biaya beli tabletpun sangat ringan dibandingkan anggaran pendidikan kita yang 20% dari APBN atau sekitar 400 Trilyun belum ++ anggaran daerah yang juga ada untuk pendidikan. Pembagian tablet ke keluarga, katakanlah kita menggunakan angka yang sama dengan penerima Kartu Indonesia Pintar yang pada tahun 2016 sekitar 18 juta anak. Maka dibutuhkan 18 juta x Rp 600.000 (masih harga ritel) atau sekitar 11 Trilyun untuk memberikan semua anak itu masing2 sebuah Tablet/Gadget!
Kalau melihat akses ribuan buku dan konten edukasi langsung terbuka untuk semua rakyat, jelas ini investasi yang sangat sangat kecil. Bukankah anggaran siluman di DKI saja 12 Trilyun? Hasilnya dapat UPS yang mangkrak di gudang2 sekolah?
Bahkan tanpa dibagi2 gratispun, anak2 kelas ekonomi menengah/atas juga bisa subsidi silang ke teman2nya yang kurang mampu, atau yang lebih praktis lagi, langsung diautodebet saja cicilan pembelian tablet/sabak dengan Kartu Indonesia Pintar yang saat ini dananya sudah dibagi-bagikan, daripada uangnya dihambur2kan untuk membeli rokok dan pulsa.
Intinya dari segi biaya tidak ada kendala, hanya membutuhkan niat untuk implementasinya, yang sebenarnya bisa dilakukan bertahap sesuai kondisi internet dan kesiapan materi multimedia.