Lihat ke Halaman Asli

Siska Dewi

TERVERIFIKASI

Count your blessings and be grateful

Pengalaman Saya dalam Negosiasi Gaji

Diperbarui: 29 Agustus 2021   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi nego gaji (Foto oleh Sora Shimazaki dari Pexels)

Pertama kali saya menapakkan kaki di dunia kerja pada pertengahan tahun 1983. Sepanjang perjalanan karier lebih dari 38 tahun, saya tidak pernah meminta kenaikan gaji.

Dalam artikel ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang tip nego gaji saat wawancara kerja versi saya dan mengapa setelah diterima bekerja, saya tetap naik gaji meskipun tidak pernah meminta.

Pada pengalaman kerja pertama hingga ketiga, saya menerima tawaran gaji tanpa nego

Saat diterima bekerja di bengkel milik sahabat karib almarhum ayah, saya digaji tujuh puluh lima ribu rupiah per bulan. Saya terima tanpa nego. Luar biasa senang rasanya!

Saya membayangkan saldo tabungan sebesar empat ratus lima puluh ribu rupiah yang akan saya miliki enam bulan kemudian. Saldo yang lebih dari cukup untuk membayar uang kuliah satu semester pada saat itu.

Mengapa saya menabung 100% gaji saya?

Pertama, setiap siang saya makan makanan sehat tanpa perlu membayar. Isteri pemilik bengkel memasak dan meminta asisten rumah tangganya mengantarkan makanan untuk saya.

Kedua, saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya transpor. Paman saya, adik dari ibu, setiap hari mengantar jemput saya karena letak bengkel searah dengan toko obat tempat beliau bekerja.

Ketiga, saat itu ibu saya masih aktif bekerja dan kami menumpang di rumah adik-adik ibu. Saya tidak diminta berkontribusi untuk biaya hidup kami. Ibu sudah sangat senang karena saya bisa membayar uang kuliah dengan hasil kerja sendiri.

Berhenti dari tempat kerja pertama karena bengkel tutup permanen, saya ditawari gaji seratus ribu rupiah per bulan di kantor konsultan pajak milik sahabat paman. Tawaran yang lagi-lagi saya terima tanpa nego.

Untuk menghemat pengeluaran, setiap pagi ibu memasakkan bekal makan siang untuk saya. Selain itu, paman juga masih mengantar jemput saya karena jarak tempat kerja kami yang berdekatan.

Saat itu, saya juga mendapat beasiswa dari kampus untuk satu tahun. Kebiasaan menabung 100% gaji masih berlanjut, kali ini tabungan tersebut utuh karena tidak perlu membayar uang kuliah.

Februari 1986, saya memberanikan diri melamar kerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) milik Pak JY, dosen Sistem Akuntansi I. Bagi saya, inilah awal karier yang sesungguhnya.

Gaji pokok saya naik 75% dari posisi sebelumnya. Seratus tujuh puluh lima ribu rupiah per bulan, dengan skema lembur yang dihitung per jam sesuai aturan ketenagakerjaan.

Saya terima tawaran Pak JY dengan penuh syukur, tanpa nego. Bagaimana mau nego? Dengan paket remunerasi yang ditawarkan itu saja, saya sudah merasa bahwa beliau luar biasa murah hati kepada saya.

Baca juga:  Pada Usia 25 Tahun, Saya Melepas Karier yang Sudah Mapan

Empat tahun delapan bulan saya jalani di KAP tempat saya ditempa menjadi seorang profesional. Di sinilah saya menyerap ilmu lewat pengalaman kerja (on the job training) dan pelatihan formal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline