Lihat ke Halaman Asli

Pemerintah Apatis Pendidikan: Mahasiswa Bergerak

Diperbarui: 13 Juni 2024   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mahasiswa menjadi status paling tinggi dalam dunia pendidikan Indonesia. Seseorang yang belajar di perguruan tinggi tidak hanya mendapatkan ilmu dalam bentuk pengajaran akademik saja, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kepemimpinan, dan analisis sosial. Hal ini membawa mahasiswa akhirnya memiliki kepedulian terhadap lingkungan disekitarnya, tak terkecuali pada kondisi sosial--masyarakat yang sedang terjadi di Indonesia. Gerakan mahasiswa (anak muda) tercatat sudah ada bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, lewat berdirinya organisasi kepemudaan serta Sumpah Pemuda. Kemudian, pada masa reformasi tahun 1988, mahasiswa Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran terhadap pemerintahan Soeharto yang diwarnai dengan KKN---Kolusi, Kolusi, dan Nepotisme selama 32 tahun menjabat. Hal ini menuju kepada sebuah kesimpulan, bahwa gerakan mahasiswa yang dilakukan secara masif memiliki dampak yang begitu luar biasa terhadap permasalahan realitas sosial yang sedang dihadapi oleh bangsa ini.

Dalam satu lustrum terakhir, mahasiswa terus menunjukkan taring dan kegigihannya dalam melakukan gerakan mahasiswa untuk mengangkat isu-isu urgen yang menggelitik masyarakat. Mulai dari pendesakan pengesahan UU TPKS, penolakan Omnibus Law, pembatalan revisi UU KPK, pembatalan RKUHP, hingga pembatalan revisi UU Penyiaran. Aksi demonstrasi ini mayoritas dilakukan dalam skala nasional, ada juga yang ditingkat daerah. Mahasiswa dewasa ini secara sadar, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bersuara dalam memperjuangkan hak-hak mereka, bahkan hak masyarakat secara luas. Tak jarang, pemerintah pun akhirnya mempertimbangkan, mengevaluasi, bahkan mengabulkan pernyataan sikap dari mahasiswa.

Akhir-akhir ini, mahasiswa, secara khusus mahasiswa baru (maba) digegerkan dengan kenaikan UKT (Uang Kuliah Tahunan) perguruan tinggi negeri. Mirisnya, informasi terkait kenaikan UKT ini diumumkan setelah pengumuman SNBP. Padahal, Permendikbud Ristek nomor 2/2024 yang mengatur terkait hal ini sudah disahkan pada 19 Januari yang lalu. Tidak adanya woro-woro dari pemerintah ini membuat geger banyak pihak. Hadiah dari pemerintah ini membuat hampir sekitar 50 orang maba dari Universitas Riau tidak melanjutkan daftar ulang imbas kenaikan UKT sebesar 300-500%, yang dimana melampaui jauh dari kemampuan finansialnya. Cerita lainnya, salah satu mahasiswa UNY dihubungi oleh secara anonim dan diancam dicabut KIPK setelah melakukan protes UKT kepada pihak rektorat. 

Melihat ketidakjelasan dan keburu-buran masalah UKT ini membuat mahasiswa secara kolektif memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan bermutu, inklusif, dan terjangkau. Apa lagi dalam konteks perguruan tinggi negeri, di mana seharusnya pemerintah memiliki peran besar dari segi bantuan finansial yang bisa dianggarkan melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Ironisnya, pengalokasian dana pendidikan hanya mendapatkan jatah 20% APBN atau Rp 665 triliun. Tetapi untuk pendidikan tinggi hanya mendapatkan jatah sebesar Rp 56,1 triliun atau sekitar 8,4% saja. Padahal, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang harus dibayar oleh pemerintah jika menginginkan SDM yang berkualitas.

Situasi ini ditanggapi dengan pernyataan blunder dari Plt Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbud-Ristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyatakan bahwa kuliah merupakan pendidikan tersier alias pilihan atau tidak wajib. Hal ini tentunya tidak sejalan pasal 28C ayat (1) UUD 1945, "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".

Sikap mahasiswa yang luar biasa ini menunjukkan perjuangan mendapatkan kemerdekaan melalui pendidikan tanpa ada embel-embel komersialisasi dari pemerintah. Mahasiswa dari berbagai universitas tidak hanya melakukan aksi turun ke jalan, tetapi juga aksi melalui media internet. Mereka ikut meramaikan gerakan ini dengan menulis kolom di koran, cuitan di Twitter, membuat video TikTok, membuat postingan di Instagram, dan YouTube pun juga tidak lalai dari sasaran mereka. Viralnya masalah ini juga membuat orang awam juga merasa aware terhadap isu kenaikan UKT yang seolah-olah dijadikan kejutan oleh pemerintah. Mereka turut menyatakan kekecewaan terhadap pemerintah. 

Semua ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa memiliki kemampuan untuk semakin peduli terhadap hak-hak yang harus terus diperjuangkan. Kekuatan internet dan media sosial sudah tidak bisa diragukan lagi, walaupun kemarin kita masih bergantung pada media massa seperti koran, TV, majalah, tetapi nyatanya kita harus menerima bahwa internet akan membawa dampak yang lebih besar lagi. Media sosial menjadi sebuah bentuk inovasi gerakan mahasiswa, dengan dukungan partisipasi online dari para netizen. Menjadi bukti yang kuat, bahwa menggertak pemerintah tidak harus dengan panas-panasan ke jalan, namun dapat melalui teks, audio, dan visual di dunia maya yang dikerahkan secara kontinu hingga viral.

Mungkin sudah saatnya kita lebih memperhitungkan mahasiswa, dengan tingkat kepeduliannya, kecerdasannya, kemampuannya memakai internet, dan bersuara menjadikan gerakan mahasiswa dewasa ini pasti akan dapat membawa dampak yang begitu besar. Langkah mahasiswa seharusnya tidak berhenti sampai di sini saja, tidak hanya terbatas pada memperjuangkan penurunan UKT. Tetapi, mahasiswa juga harus lebih mau terlibat dan menolong rakyat kecil---petani, buruh, nelayan, dll dalam memperjuangkan keadilan yang mereka harapkan dari pemerintah yang semakin hari semakin melupakan rakyat. 

Mahasiswa sudah tidak dalam fase "nrimo ing pandum"---menerima segala pemberian/ keadaan, tetapi mahasiswa masa kini sudah memiliki kesadaran yang begitu luar biasa atas kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat banyak. Dengan kemudahan untuk memviralkan sesuatu, mahasiswa sudah harus mampu dan mau untuk menjadi agent of change, menjadi harapan  bagi masyarakat Indonesia. Mampu mendesak pemerintah untuk menuntaskan berbagai macam pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, sekaligus menjadi pihak oposisi pemerintah yang memberi sinyal ketika mereka keluar dari jalur yang seharusnya. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline