Seringkali kita temui program beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, bagaimana seorang dari dan berkewarganegaraan suatu negara berangkat dan hidup beberapa tahun di negara lainnya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk migrasi internasional yang dimana ternyata dalam dinamikanya berhubungan dengan aspek pembangunan. Begitu pula yang terjadi pada negara yang penulis pilih untuk diamati lebih lanjut yakni Thailand. Bagaimana kemudian dua variabel tersebut dapat berhubungan dan kemudian menjadi penting akan dibahas dalam tulisan ini.
Sebelum lebih lanjut kita perlu memahami akan migrasi internasional dan pembangunan, dalam pembahasan kali ini perlu suatu tanda tanya apakah terdapat dampak yang signifikan dengan adanya misalnya program beasiswa terhadap suatu negara negara tersebut, atau malah justru tidak menguntungkan. Timbal balik yang diberikan terdapat dua kemungkinan yakni yang disebut brain gain dan brain drain.
Pertama adalah asumsi gain, pada asumsi ini beberapa penulis menyatakan bahwa biasanya pelatihan kerja profesional di luar negeri tidak didukung secara finansial oleh negara asal melainkan oleh donor lain. Dengan itu negara tidak turut andil dalam pembiayaan ini, tidak ada pengeluaran. Kedua, sedangkan asumsi drain bahwa negara-negara berkembang menghabiskan sebagian besar devisa mereka yang langka dengan susah payah untuk ekspatriat dari negara-negara maju.
Negara berkembang menghabiskan banyak uang untuk pendidikan namun kemudian yang berpendidikan pergi bekerja di luar negeri, hal ini menunjukkan investasi rugi. Negara mengeluarkan biaya yang pada mulanya ditujukan untuk timbal balik berupa sumber daya manusia "highly educated" untuk pembangunannya, namun yang terjadi sebaliknya, malah negara tujuan yang mendapatkan hasilnya.
Brain drain mengurangi pertumbuhan ekonomi melalui penipisan aset sumber daya manusia negara sumber dan tambahan melalui investasi tanpa imbalan dalam pendidikan. Istilah ini digunakan secara luas pada akhir 1960-an karena negara-negara maju menarik tenaga terampil. Brain drain sekarang ditandai dengan tarikan permintaan di pihak negara penerima, yang kebijakan imigrasinya mencerminkan kekurangan pasar tenaga kerja domestik. Dikombinasikan dengan efek seleksi mandiri tradisional pada sisi penawaran, hal ini menyebabkan tingkat migrasi yang jauh lebih tinggi di antara transfer modal manusia yang berpendidikan tinggi dan meningkat dari negara berkembang ke negara maju (Beine et al, 2001 dalam Panescu, 2020).
Kemudian yang terjadi di Thailand, mengenai keadaan sirkulasi ini, Thailand sebagai ekonomi berkembang, dapat dianggap sebagai negara sumber. Untungnya, Thailand tidak pernah mendapat peringkat tinggi dalam hal brain drain jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia dan meskipun mungkin bukan masalah yang signifikan, namun tetap perlu dipantau.
Thailand juga agak unik karena migrasi yang terjadi hampir sama terbagi antara orang Thailand yang berpendidikan menengah dan tinggi. Thailand juga menempati peringkat rendah dalam hal penduduk berpendidikan tinggi yang bermigrasi jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini (Bhumiratana et al., 2009).
Dalam hal tingkat migrasi Thailand, meskipun terus menurun antara 2016 dan 2019, jumlah imigran Thailand selama situasi COVID-19 meroket 4 kali lipat dari Juni hingga Juli pada 2020, meningkat dari 585 menjadi 2.394, dan ini tren tampaknya terus berlanjut dari Desember 2020 hingga April 2021 jumlah emigran tahunan meningkat secara bertahap dari 104.377 menjadi 109.252 (Divisi Administrasi Ketenagakerjaan Luar Negeri, 2021 dalam Prawetchayodom et al., 2021). Pembentukan grup "Let's Leave the Country" di platform Facebook menunjukkan bagaimana warga negara Thailand disadarkan akan migrasi intelektual. Itu segera memenangkan lebih dari setengah juta anggota dalam 3 hari, antara 1 Mei dan 3 Mei, dan berkembang menjadi lebih dari satu juta tidak lebih dari satu bulan, dengan berbagai usia dan karir berbagi saran dan pengalaman mereka meninggalkan Thailand dan tinggal di luar negeri (Srisitt , 2021 dalam Prawetchayodom, 2021). Data menunjukkan tingkat keinginan warga negara skilled untuk bermigrasi dari Thailand. Pendeknya, Thailand diuntungkan dengan brain circulation karena benar bahwa Thailand kehilangan sebagian dari tenaga kerja terampil nasional mereka sendiri, tetapi Thailand pada saat yang sama mendapatkan pekerja berketerampilan tinggi dari negara-negara maju terutama di bidang pendidikan dengan mempekerjakan profesor berpendidikan barat (Mhunpiew & Kolenberg, 2021).
Thailand juga perlu menyadari fakta bahwa secara bertahap menjadi negara penerima dan memiliki potensi untuk meningkatkan dan memanfaatkannya. Asian Institute of Technology adalah contoh kasus yang bagus. AIT telah menunjukkan bahwa ia dapat menarik peneliti terampil dari negara lain, tanpa harus menggunakan gaji setingkat OECD untuk mencapainya. Karena kesempatan untuk pendidikan tinggi di banyak negara tetangga tetap terbatas, Thailand dapat mengharapkan masuknya siswa yang lebih besar dari Burma, Laos, Kamboja dan pada tingkat yang lebih rendah yakni Vietnam. Jika kesempatan kerja yang menarik tersedia, sejumlah siswa ini dapat diharapkan untuk tetap tinggal, menambah kumpulan keterampilan di Thailand (Bhumiratana et al., 2009).
Dari penjelasan dan data-data di atas dapat disimpulkan bahwa, asumsi brain gain adalah ketika proses investasi berjalan lancar, bagaimana sebuah negara mengeluarkan dan mendapat keuntungan darinya pula. Sedangkan keadaan brain drain, negara-negara berkembang menghabiskan sebagian besar devisa mereka yang langka dengan susah payah untuk ekspatriat dari negara-negara maju.
Negara berkembang menghabiskan banyak uang untuk pendidikan namun kemudian yang berpendidikan pergi bekerja di luar negeri, hal ini menunjukkan investasi rugi. Negara mengeluarkan biaya yang pada mulanya ditujukan untuk timbal balik berupa sumber daya manusia "highly educated" untuk pembangunannya, namun yang terjadi sebaliknya, malah negara tujuan yang mendapatkan hasilnya.