Akhir-akhir ini terdengar kabar gembira dari sektor pertanian. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pertanian Indonesia meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Saat ini PDB pertanian menempati urutan ke lima di dunia. Sebuah pencapaian yang membanggakan karena kini Indonesia bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan mengekspor hasil pertanian, setelah beberapa tahun lalu sempat mengimpor beras.
Miris memang, negara agraris tidak bisa memenuhi kebutuhan yang seharusnya menjadi produk unggulannya. Padahal dilihat sekilas saja, alam berpihak kepada Indonesia. Letak astronomis 60LU-110LS dan 950BT-1410BT menandakan Indonesia beriklim tropis. Ditambah posisi geologi yang dilewati cincin api membuat tanah Indonesia semakin subur sehingga mendukung beragam usaha agraria.
Sebenarnya pertanian Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Ratusan tahun lalu, bangsa barat berebut kekuasaan untuk mendapatkan hasil bumi nusantara. Dan nyatanya bisnis di sektor ini memang sangat menguntungkan. Melihat hal ini, pemerintah terus melakukan upaya untuk meng-upgrade kualitas pertanian agar kedepannya dapat memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Dimulai dari pemberian dana desa, benih berkualitas, subsidi pupuk, berbagai alat pertanian modern, hingga rencana pembangunan lima lumbung pangan di wilayah perbatasan yang nantinya akan disulap menjadi gerbang ekspor ke negara tetangga.
Pemerintah juga menargetkan pembangunan 65 bendungan dalam lima tahun yang terdiri dari 16 proyek lama dan 49 proyek baru. Pembangunan bendungan dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan air dan kedaulatan pangan. Nantinya, bendungan akan difungsikan sebagai sumber irigasi.
Meskipun sempat jatuh bangun, usaha pemerintah telah membuahkan prestasi. Sebagai contoh, pertanian berkontribusi dalam menurunkan inflasi bahan pangan, dari sebesar 11,35% di tahun 2013 menjadi 1,26% di tahun 2017. Angka ini dibawah inflasi umum yaitu sebesar 3,61%. Jumlah penduduk miskin di pedesaan, yang merupakan basis pertanian juga menurun. Dari yang semula 17,94 juta jiwa di tahun 2015. Pada tahun 2016, 2017, dan 2018 berhasil ditekan berturut-turut menjadi 17,67 Juta, 17,09 juta, dan terakhir 15,81 juta yang merupakan terendah dalam sejarah.
Namun dibalik itu semua, rupanya indonesia sedang mengalami fenomena krisis petani. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013), jumlah rumah tangga petani berkurang sebanyak 5 juta. Padahal kebutuhan penduduk akan hasil tani terus meningkat, berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2013, tecatat ada 26.135.469 petani, sedangkan jumlah penduduk indonesia saat itu sekitar 252 juta jiwa. Sulit rasanya bila harus memenuhi kebutuhan pangan negeri tanpa melakukan impor melihat jumlah petani yang minim ditambah masih sangat bergantung pada alam.
Sebagian besar operasi pertanian Indonesia memang belum tersentuh teknologi modern. Hal ini karena mayoritas petani hanya menempuh pendidikan hingga jenjang Sekolah Dasar. Gambar 2 menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sedikit yang bekerja di dunia pertanian. Generasi muda Indonesia makin banyak yang menjauhi sektor pertanian, bahkan di kalangan mahasiswa lulusan fakultas pertanian itu sendiri. Presiden Joko Widodo pernah menyindir fakta ini dalam Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus IPB, Bogor. Jokowi mengatakan banyak lulusan IPB yang bekerja di Bank. Ia mengaku sudah mengecek sendiri jajaran direksi perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berasal dari IPB (Kompas.com., 2017).
Menurut pakar pertanian yang merupakan dosen IPB, Dwi Andreas, fenomena ini terjadi karena sektor pertanian tidak mendatangkan pendapatan yang memadai (Hidayat, 2017). Pernyataan itu dapat diperkuat dengan penelitian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang menyatakan bahwa 70 persen responden orangtua keluarga petani pada usaha tani padi, tidak tertarik pada sektor pertanian. Sebagian besar termotivasi menjadi petani karena dorongan orangtua dan/atau tidak memiliki pekerjaan lainnya, hanya 28 persen dari responden yang terdorong menjadi petani karena kemauannya sendiri. Separuh dari mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan anaknya menjadi petani. Di sisi lain, 70 persen dari responden anak petani menyatakan tidak pernah bercita-cita menjadi petani dan 52 persen tidak ingin berprofesi sebagai petani.
Fakta di atas tidak bisa dibantah melihat Nilai Tukar Petani (NTP) yang mendekati angka 100, dimana menandakan pendapatan petani hampir sama dengan biaya produksi, sehingga keuntungan yang diperoleh sangat sedikit. Apabila dicermati lagi NTP dari tahun 2014 hingga 2017 cenderung menurun. Hal inilah yang menjadi motif petani lari dari mata pencahariannya