Fatherless memiliki arti ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak. Ketiadaan disini dimaknai secara fisik maupun secara psikologis. Kealpaan ayah dalam kehidupan anak menyebabkan perkembangan anak menjadi kurang optimal.
Jiwa anak akan merasa terasing saat melihat gambaran ideal sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, bersama-sama secara fisik maupun psikis. Oleh karena hal ini, anak akan mengalami guncangan jiwa psikologis, sehingga anak memiliki rasa kecewa, putus asa, malas, tidak semangat, diamana hal-hal tersebut dapat mempengaruhi proses pembelajaran di sekolah.
Terdapat paradigma lama yang menyatakan bahwa anak adalah urusan ibu dan hanya ibu yang paling mengetahui tentang kehidupan anak. Sementara ayah hanya bertugas untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup dan tidak perlu hadir dalam pengasuhan anak.
Paradigma ini tidak hanya berkembang di Indonesia, melainkan juga negara-negara di dunia. Namun, belakangan di Amerika paradigm lama ini sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang baru, yaitu ayah kini menggambil peranan begitu besar dalam aktivitas rumah tangga bahkan terdapat pernyataan bahwa para pria yang akan menjadi seorang ayah sudah menyiapkan cuti kerjanya guna memberikan waktu lebih besar untuk anaknya, baik peran secara aktif membentuk perkembangan emosi anak, menanamkan nilai-nilai hidup, maupun kepercayaan dalam keluarga.
Fatherless dikenal juga dengan istilah father absence, father loss atau father hunger, dimana semuanya mendefinisikan ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak.
Ketidakhadiran disini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya kematian ayah, kepergian dari perannya sebagai seorang ayah, perceraian, pemisahan karena masalah dalam hubungan pernikahan atau masalah kesehatan, hingga tuntutan profesi.
Selain disebabkan kematian, sering kali ayah hadir secara fisik namun tidak menjalankan peran pengasuhannya sebagai seorang ayah. Lalu bagaimanakah cara untuk membangun pola asuh ayah ditengah faktor-faktor penyebab fatherless tersebut?
1. Memberikan Arahan kepada Anak
Memberikan arahan merupakan bentuk kontrol orang tua dalam pola asuh terhadap anaknya agar menjadi manusia yang berpribadi. Mengontrol berkaitan dengan cara mendidik orangtua terhadap anak.
Mendidik sejatinya tidak hanya sekadar proses transfer knowledge saja, tapi juga terjadi proses transfer value. Mendidik adalah upaya memberikan pembinaan bagi anak, baik sikap mental maupun akhlaknya.
Mendidik anak secara keseluruhan meliputi aspek kognitif (pengetahuan), psikomotor (ketrampilan), dan afektif (sikap). Tentu hal ini bukan perkara yang mudah. Oleh karena itu perlu kerja sama yang baik antara ayah dan ibu untuk membangun pola asuh yang baik terhadap anaknya.
2. Menjalin Komunikasi Dua Arah
Maksudnya adalah antara ayah dan anak saling berkomunikasi mengungnkapkan ide, gagasan, perasaan dan sebagainya. Tujuan komunikasi ini adalah untuk menciptakan kehangatan hubungan antara ayah dan anak, tidak kaku, dan berlangsung harmonis.
Komunikasi ini dapat diisi dengan diskusi tentang aturan yang berlaku dirumah, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, jadwal harian, dan lain-lain.
Contoh:
- Ayah harus bekerja selama weekdays (senin-jum’at) dari pagi hingga sore demi mencukupi kebutuhan keluarga.
- Anak ingin berenang bersama ayah.
- Kesepakatan, anak dapat bermain (termasuk berenang) bersama ayah setiap hari minggu (misal). Atau hari minggu adalah hari bermain ayah dengan anak, dimana ayah tidak boleh sama sekali menangani hal yang berkaitan dengan pekerjaan profesinya.
Harapannya diskusi ini dapat mencapai kesepakatan yang dapat ditaati antara ayah dan anak, atau dalam skala yang lebih besar adalah keluarga. Hal ini bermanfaat untuk melatih kedisiplinan dan tanggung jawab anak, dimana anak akan terbiasa berlaku tertib aturan. Dalam hal ini, konsistensi dalam penerapan aturan menjadi aspek terpenting dalam tercapainya karakter disiplin.
Adanya komunikasi dua arah akan menciptakan ikatan emosi antara ayah dan anak. Ketika anak merasa sedih, kecewa, atau perasaan lainnya, dengan adanya komunikasi dan kemudian orangtua memberikan dukungan, pelukan, dan sebagainya, anak akan merasa bahwa ayahnya selalu ada untuknya dalam kondisi apapun.
3. Penerapan Reward and Punishment
Secara bahasa reward berarti hadiah (dapat berupa pujian, barang, dsb) dan punishment berarti hukuman. Reward diberikan ketika seorang anak berhasil memperoleh suatu pencapaian sederhana atau ketika telah melaksanakan aturan yang berlaku. Sementara punishment diberikan ketika anak melanggar aturan yang telah dibuat dengan adanya batasan dalam memberikannya.
Punishment sebaiknya memberikan efek jera, namun masih dalam batas yang dapat diterima anak. Contoh: Ketika seorang anak melakukan hal yang tidak baik, ayah akan memberikan punishment berupa mengurangi kebebasan anak untuk melakukan hal yang dia senangi, seperti bermain gawai, dan sebagianya.
Sumber: