Lihat ke Halaman Asli

De Graaf, Sukarto dan Hari Jadi Kabupaten Banyumas

Diperbarui: 15 Februari 2016   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.De Graaf, Bapak Sejarah Jawa.

Sejarawan Belanda De Graaf  dalam telaahnya mengenai Kadipaten Wirasaba telah menemukan fakta historis  kapan tahun terjadinya tragedi Sabtu Pahing dengan menggunakan Babad Banyumas sebagai salah satu sumber referensi buku yang ditulisnya, “Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.” Apa pendapat De Graaf tentang tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI atau Wargahutama I?

De Graaf menulis tentang wilayah Kedu, Bagelen dan Banyumas abad  XV  pada hal 240- 241 sbb:

“Ceritera Mataram memberitakan para penguasa setempat dari Kedu dan Bagelen yang dalam perjalanannya ke timur untuk menyerahkan upeti tahunan ke Kraton Pajang terbujuk oleh Senopati  di Mataram untuk mengakuinya sebagai Raja dan tidak meneruskan perjalanannya ke Pajang. Para kepala daerah itu mungkin yang disebut kenthol-kenthol Bagelen, yang sampai abad XX masih dikenal orang. Salah seorang penguasa Bagelen, Yang Dipertuan di Bocor, ingin tetap taat kepada Raja Pajang, mencoba membunuh Senapati, tetapi gagal. Oleh karenanya, ia yakin bahwa Raja Mataramlah yang berhak memerintah seluruh Jawa. Dalam sejarah setempat di Pasir –suatu daerah di aliran Sungai Serayu (sekarang daerah Banyumas)-nama Bocor disebut sebagai tempat seorang penguasa Pasir yang murtad terhadap agama Islam dan mengasingkan diri, karena wilayah warisannya diduduki oleh tentara Sultan Demak  yang ingin menegakkan kembali pemerintahan Islam. Mungkin Yang Dipertuan di Bocor pada paruh kedua abad XVI  tidak mau mengikuti begitu saja kekuasaan Senapati, karena ia berasal dari keturunan para Adipati Pasir, yang berkedudukan penting di Keraton Demak. Lain dari pada itu, dari babad itu juga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Sultan Pajang diakui dalam perempat ketiga abad XVI di Kedu dan Bagelen.

 “Dalam Babad Banyumas diberitakan bahwa Sultan Pajang memerintahkan pembunuhan atas Yang Dipertuan di Wirasaba (suatu daerah disebelah utara Banyumas) yang bernama Warga Utama. Suatu kronik Jawa menyebutkan tahun 1500 J ( 1578 ) sebagai  tahun pendudukan Wirasaba. Apabila kedua berita ini  dibandingkan,  dapat diperkirakan bahwa Kraton Pajang dalam tahun-tahun pemerintahan Raja Adiwijaya masih ingin meneguhkannya di daerah pedalaman dengan kekerasan senjata. Ceritera tentang Bocor dan Wirasaba tidak bertentangan.” demikian De Graaf menulis komentar daerah Wirasaba, setelah menceriterakan panjang lebar tentang Kedu, Bagelen, Pasir dan Bocor, dalam hubungannya dengan usaha Pajang untuk menegakkan kekuasaannya atas daerah itu dengan kekerasan.( De Graaf; Kerajaan Islam Pertama Di Jawa;2001,hal:240-241)

Dari telaah De Graaf, kita tahu bahwa kisah tewasnya Adipati Wirasaba VI atau Adipati Wargahutama I yang dikenal dalam ceritera rakyat Banyumas sebagai tragedi Sabtu Pahing itu terjadi pada tahun 1578 M. De Graaf menyebutnya sebagai tahun pendudukan Wirasaba. Saat terjadi pendudukan Wirasaba itulah terjadi tindakan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya Adipati Wirasaba VI.

 Dalam tradisi lokal, baik yang berupa ceritera rakyat maupun  tertulis dalam sejumlah babad lokal, kisah terbunuhnya Sang Adipati nampak sangat diperhalus, sehingga terkesan tragedi Sabtu Pahing itu bukan suatu tindakan kekerasan. Tetapi suatu kekhilafan dari seorang Raja yang harus dimaafkan oleh kawulanya. Dalam kerajaan yang bersifat totaliter dan otoreter, memang para kawula wajib menyembunyikan perasaan  ketidaksenangannya dan kekecewaannnya pada Sang Raja. Tetapi tafsir apapun yang terjadi, tidak mengurangi hasil rekonstruksi De Graaf, bahwa tragedi Sabtu Pahing yang telah menewaskan Adipati Wirasaba itu terjadi pada tahun 1578 M.

Tidak ada alasan untuk meragukan  pernyataan De Graaf tersebut. Tahun 1578 M sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan merupakan fakta sejarah. Kepakaran dan otoritas De Graaf dalam mempelajari karya babad  telah diakui sendiri oleh Sugeng Priyadi ( hal 38 ). Karena itu pendapat De Graaf  yang menyebutkan tahun terbunuhnya  Adipati Wirasaba Wargautama I  terjadi pada tahun 1578 M, tentunya lebih memiliki kredibititas yang tinggi  dari pada  data yang ada dalam Babad Kranji-Kedungwoeloeh yang menyatakan bahwa Adipati Wirasaba Wargahutama I terbunuh tahun 1570 M!

Pendapat De Graaf itu lebih  layak dijadikan salah satu pertimbangan dalam menentukan hari  jadi Kabupaten Banyumas. Apalagi pernyataan De Graaf itu sesuai pula dengan analisa filologi yang telah dibahas di atas, bahwa tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI adalah tahun 1578 M.

Dengan demikian tahun 1578 M sebagai fakta sejarah dari  tahun wafatnya Adipati Wirasaba telah didukung oleh analisa historis dan analisa filologi.  Analisa historis berasal dari kajian De Graaf, sedang analisa filologis berasal dari  analisa yang telah kita lakukan terhadap  alinea hal 25-26 dalam Naskah Babad Banyumas versi ISBB yang yang telah dikutip Sugeng Priyadi pada hal 19 buku yang kita bicarakan ini.

Agak mengherankan juga, jika kita teliti daftar literatur yang dijadikan Sugeng Priyadi sumber referensi dari buku yang ditulisnya,  sama sekali tidak ditemukan buku karya De Gaaf di atas. Buku De Graaf di atas membicarakan konflik Pajang Wirasaba dengan menggunakan Babad Banyumas sebagai salah satu sumber referensinya. Padahal rekonstruksi sejarah kapan Adipati Wirasaba VI atau Wargahutama I terbunuh dalam tragedi Hari Sabtu Pahing,  sangat penting dan merupakan kunci untuk mengetahui kapan Jaka Kahiman, pendiri kota Banyumas itu diangkat Sultan Pajang menggantikan mertuanya yang tewas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline