Lihat ke Halaman Asli

Pengaruh Babad Tanah Jawi Dalam Naskah Kalibening(06)

Diperbarui: 27 Januari 2016   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri Tinjauan Kritis Buku Hari Jadi Kabupaten Banyumas 22 Pebruari 1571(06)

Naskah Babad Kalibening merupakan naskah yang ditemukan Sugeng Priyadi dari koleksi juru kunci makam Kalibening, Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas. Penampilan fisik naskah dilukiskan sebagai dibuat dari kertas dluwang, warna kuning, ukuran 11X 16 cm, berbentuk prosa dari huruf Jawa abad ke-17 M. Ada beberapa halaman naskah yang hilang. Peneliti menyimpulkan bahwa jika dibandingkan dengan naskah lainnya, Babad Banyumas Kalibening merupakan naskah tertua dengan kandungan teks tertua juga.

Tidak ada penjelasan dari mana Sanmuhadi, juru kunci makam Kalibening memperoleh naskah tersebut. Seorang juru kunci makam memang sering bisa menceriterakan riwayat tokoh yang dimakamkan yang biasanya ditambahi dengan berbagai ceritera mitos dan legenda. Memang agak mengherankan, Sanmuhadi yang juru makam Kalibening, tetapi menyimpan naskah lama yang berisi kisah Jaka Kahiman yang tidak dikubur di makam Kalibening.

Bisa jadi Sanmuhadi punya kerabat yang menjadi jurukunci makam Adipati Mrapat di Desa Dawuhan dan dari sana Sanmuhadi memperoleh naskah yang kemudian sampai ke tangan peneliti. Yang jelas naskah Kalibening, memang tidak ditemukan di komplek makam Adipati Mrapat, tetapi ditemukan di rumah Sanmuhadi yang rupanya gemar mengoleksi naskah kuno juga.

Dalam artikelnya yang dipublikasikan media massa,”Sejarah Harus Ada Sumbernya”, Sugeng Priyadi memperjelas deskripsi naskah Kalibening dengan menyebutkan bahwa huruf Jawa yang dipakai merupakan tipe huruf dari abad ke-16 Masehi. Jenis bahan yang dipakai untuk ditulisi adalah kulit kayu.

Ada perubahan deskripsi penampilan fisik Naskah Kalibening. Sebelumnya disebutkan dari kertas dluwang, belakangan disebutkan dari kulit kayu. Tipe huruf sebelumnya disebutkan dari abad ke-17 M, belakangan dari abad ke -16 M. Dalam artikel itu dijelaskan pula bahwa naskah Kalibening tidak memuat unsur-unsur mitologi, legendaris dan dongeng, sehingga lebih tepat dikatakan sebagai buku catatan sejarah dari pada babad.

Benarkah Naskah Kalibening tidak mengandung unsur-unsur mitologi dan Legenda?

Jika benar demikian lalu untuk apa Sanmuhadi mengoleksinya? Biasanya juru kunci mengoleksi naskah kuno, justru karena isinya mengandung mitos dan legenda, karena dia berharap dapat berkah dari kisah-kisah dalam naskah kuno tersebut. Naskah kuno dikeramatkan pertama-tama bukan karena penampilan fisiknya.Tetapi karena isinya adalah tokoh-tokoh yang dia mitoskan untuk mengharapkan berkahnya, auranya dan wibawaannya, bahkan kadang-kadang kesaktiannya.

Mungkin karena ini, konon Adipati Wirasaba I dalam naskah Kalibening disebut Ki Kepaguhan. Sugeng Priyadi menduga Ki Kepaguhan ada hubungannya dengan Brhee Paguhan yang disebut dalam Pararaton sebagai salah seorang raja bawahan pada masa Majapahit. Karena itu Sugeng Priyadi menduga Naskah Kalibening sejaman dengan Pararaton, sebuah kronik sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit yang ditulis pada abad 16 M.

Padahal kata Ki Kepaguhan bisa saja berasal dari bahasa Sunda pageuh yang berarti tegar dan kuat, mendapat awalan ke dan an hingga menjadi kepaguhan yang berarti kuat, perkasa, mantap dan berwibawa. Atau bisa jadi berasal dari kata puguh, yang dalam bahasa Sunda dan Banyumas berarti dapat dipegang kata-katanya dan dapat dipercaya. Dari kata puguh mendapat awalan ke dan an menjadi Kepuguhan. Lama-lama berubah jadi Kepaguhan. Dengan demikian sebutan Ki Kepaguhan tak ada hubungan dengan Bhree Paguhan, tetapi gelar kehormatan dalam rangka memuja dan menghormati para leluhur Adipati Wirasaba VI yang merupakan mertua Jaka Kahiman atau Adipati Mrapat, tokoh yang hendak dipuja melalui penulisan Babad Kalibening.

Sesuai dengan prosedur metode penelitian, tentu Naskah Kalibening yang ditulis di atas kulit kayu itu harus lulus verifikasi ektern terlebih dulu untuk menentukan otentitas Naskah Kalibening.. Verifikasi ektern, tidak cukup bila hanya ditempuh secara sambil lalu melalui konfirmasi kepada seorang ahli manuskrip Museum Nasional Bagian Naskah. Seorang ahli epigrafi dan ahli manuskrip lebih bisa memberikan analisa kualitas fisik dan usia yang sesungguhnya melalui uji laboratorium, sehingga dapat ditetapkan dari abad ke berapa kulit kayu yang digunakan untuk menulisi Naskah Kalibening itu. Setelah itu baru dilakukan verifkasi intern untuk menilai tingkat kredibilitas naskah Kalibening itu sebagai dokumen sumber.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline