Lihat ke Halaman Asli

Masalah HAM dalam Kebudayaan Jawa

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2014 memunculkan isu yang sesungguhnya sangat berbahaya yang bisa menyeret bangsa ini pada konflik horisontal yang berkepanjangan. Isu itu ialah tentang pelanggaran HAM Mei 1998. Banyak yang berpendapat masalah HAM yang kembali dipersoalkan menjelang Pilpres 2014 ini, banyak ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek untuk menjegal capres yang tak dikehendakinya.

Karena itu, inisiatip yang dilakukan oleh KPU yang mengangkat tema pilpres yang berintegritas dan damai, sebagai tema Pilpres 2014 patut diapresiasi, sekaligus diacungi jempol.

Kita bisa menangkap secara implisit dari pidato Ketua KPU maupun Bawaslu pada saat penandatanganan deklarasipilpres yang berintegritas dan damai itu. Apa yang dimaksud dengan pilpres yang berintegritas dan damai itu?.

Kata integritas berasal dari kosa kata bahasa Inggris integrate, yang berarti menyatu secara utuh, jujur, bermartabat dan sempurna. Kata inetgritas bisa jadi memang memiliki akar kata yang sama dengan kata integrasi danintegral, yang juga berarti menyeluruh dan menyatu.

Lawan kata dari integrasi ialah desintegrasi atau bercerai berai. Adakah diantara komponen bangsa ini yang mengharapkan NKRI tercerai berai?. Saya kira tidak ada. Makanya perlu sekali pelaksanaan pilpres yang jujur, damai, bermartabat agar pilpres tidak berakhir dengan desintegrasi masyarakat dan bangsa.

Kitapernah mendengar istilah negara integralistik yang digagas oleh Prof.Supomo, yang kemudian oleh Bung Karno dijadikan salah satu nilai dari Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Dengan demikian yang dimaksud integritas itu adalah upaya menyatukan dua pihak yang berbeda pendapat dan berbeda konsepsi itu, dalam satu kesatuan yang utuh. Yaitu kesatuan tanpa menyisakan dendam, tanpa ada pihak-pihak yang merasa dipermalukan, tanpa ada pihak-pihak yang merasa sebagai pemenang, tanpa ada pihak-pihak yang merasa sebagai yang dikalahkan. Apa pun hasil kompetisi dalam pilpres, semua pihak yang berkompetisi adalah para putra terbaik bangsa Indonesia yang menawarkan program bagi masa depan yang lebih baik. Hasil akhirnya adalah win-win solution. Pemenangnya adalah seluruh rakyat NKRI sebagai pemilik kedaulatan. Itulah pilpres yang berkualitas karena para peserta dan penyelenggarnya memiliki integritas yang tinggi.

Siapa pun presiden yang akan terpilih kelak, orang Jawa yang akrab dengan gagasan manunggaling kawula-gusti, pasti akan berkomentar, kawula atau rakyat telah melakukan pilihan, siapa gusti atau pimpinan yang akan mereka pilih. Tetapi pada akhirnya Tuhan Yang Maha Esa lah yang akan menetapkannya melalui takdir dari Nya. Orang Jawa tidak pernah menafsirkan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Bagi orang Jawa yang relijius, suara rakyat terilhami oleh kehendak Tuhan. Jika Sang Pemenang adalah pihak yang dikehendaki oleh Tuhan, tentu tidak layak untuk tidak tawakal. Sikap yang terpuji adalah berserah diri untuk menerima kehendakNya.

Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan kebudayaan Jawa tentang konsep HAM?.

Betul sekali ketika Jokowi menjelaskan makna angka dua yang berarti harmonisasi dan keseimbangan. Pola pikir orang Jawa adalah monodualistis. Baik Jokowi maupun Prabowo, karena kedua-duanya adalah orang Jawa, kedua-duanya pastilah paham dengan pola pikir orang Jawa yang gemar berpikir dalam kerangka gagasan monodualistik guna menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam masyarakatnya. Masyarakat yang tata tentrem hanya akan terjadi manakala keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap dijaga dan dipelihara.

Dalam alam gagasan orang Jawa, setiap hal punya pasangannya sendiri-sendiri sebagai penyeimbang. Dalam kerangka alam gagasan seperti inilah, orang Jawa menganggap, setiap ada hak, pasti ada kewajiban. Karena itu, kalau ada Hak Asasi Manusia, pastilah ada Kewajiban Asasi manusia.

Seorang ahli pendidikan dan kebudayaan Jawa yang merumuskan dengan baik hubungan antara hak Asasi manusia dan kewajiban Asasi manusia adalah Ki Hadjar Dewantara yang menulis sbb:

“Hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertib damainya persatuan dalam perkehidupan bersama.

Pada hakekatnya, setiap individu memiliki kebebasan untuk memperjuangkan hak-haknya yang paling Asasi mulai dari hak untuk mencari nafkah, membangun rumah tangga, hidup layak dan sejahtera, mengutarakan pendapat, mendapatkan pendidikan, sampai memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Namun demikian setiap individu dalam mengekspresikan hak-haknya itu, harus tetap dalam koridor kewajibannya yang paling Asasi pula yaitu menghormati hukum, norma, etika, serta kewajiban lainnya yang tidak mengganggu tertib damainya kehidupan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dalam hubungan internasional.

Dengan sendirinya, negara dalam pandangan orang Jawa punyakewajibanmelindungi hak tiap individu untuk mengekpresiakan kebebasan Asasinya tadi. Tetapi negara juga punya hak untuk mencegah agar kebebasan Asasi yang dimiliki setiap individu warga negara tadi, tidak disalahgunakan menjadi tindakan-tindakan yang membahayakan keharmonisan dan tertib damainya kehidupan bermasyarakat.

Ketika Bung Karno memenjarakan para politisi kanan yang dituduhnya kontra revolusi tanpa proses hukum, pada hakekatnya Bung Karno telah melakukan pelanggaran HAM. Tentu saja Bung Karno bertindak bukan atas nama pribadi. Tetapi atas nama negara.

Ketika PKI melakukan pemberontakan Madiun, pada hakekatnya PKI juga telah melakukan pelanggaran HAM. Ketika meletus pemberontakan G.30.S, Pak Harto dan AD pada saat itu, menilai PKI telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena melakukan pembunuhan terhadap sejumlah jendral yang merupakan pucuk pimpinan institusi negara yang amat penting yaitu Angkatan Darat. Sama dengan Bung Karno, ketika Pak Harto melakukan penumpasan terhadap orang-orang PKI, Pak Harto juga bertindak bukan sebagai pribadi. Pak Harto bertindak atas nama negara. Ketika menggelar operasi penumpasan PKI, pelanggaran HAM terjadi juga.

Dalam pandangan alam gagasan orang Jawa, baik Bung Karno maupun Pak Harto, telah menerima hukumannya sendiri, dengan munculnya goro-goro yang menyebabkan keduanya lengser. Goro-goro itu muncul, karena sebelumnya telah terjadi disharmonisasi dalam masyarakat yang berupa pelanggaran HAM itu tadi. Karena itu fungsi goro-goro itu adalah mengembalikan negara pada keseimbangannya yang baru.

Itu sebabnya, dalam alam gagasan orang Jawa, negara itu bukan hal yang profan. Tetapi negara adalah sebuah insitusi yang suci, yang tidak bisa salah. Yang bisa salah adalah para birokrasi penyelenggara negara itu.

Karena itu tuntutan aktivis HAM yang meminta rekonsiliasi dengan syarat, agar negara meminta maaf terhadap pelanggaran HAM, selama Presiden NKRI orang Jawa mustahil hal itu akan dilaksanakan. Sebab memang alam gagasan orang Jawa, negara dan institusi negara adalah sesuatu yang suci, karenanya can do no wrong. Alam gagasan orang Jawa tidak pernah mengenal istilah kejahatan yang dilakukan oleh negara atau institusi.

Bagaimana kalau kelak Jokowi terpilih, lalu atas nama negara meminta maaf, karena pelanggran HAM yang terjadi terhadap warganegranya dimasa lalu?. Ya, itu berarti Jokowi tidak memahami kebudayannya sendiri. Yang berarti juga tidak memahami jati dirinya sebagai orang Jawa. Terus dia meminta maaf untuk kesalahan yang dilakukan oleh siapa?. Hanya Pak Harto kah?. Atau juga Bung Karno kah?. Akankah diadakan pengadilan ad hoc HAM, hanya untuk mengadili secara in absentia sosok yang sudah berada di alam kubur?.

Itu sebabnya jalan terbaik untuk mengatasi masalah HAM yang tidak akan membawa konflik horisontal dan dendam yang berkepanjangan adalah rekonsiliasi tanpa syarat. Lupakan masa lalu dan lupakan pula dendam sejarah.Gerakan melupakan peristiwa yang menimbulkan luka dan dendam sejarah, saya kira lebih memiliki nilai postip bagi perkembangan bangsa dan negara ke depan. Rekonsili tanpa syarat, memang sesuai dengan alam pikiran kebudayaan Jawa yang menganut pandangan mikul duwur mendem jero. Mengingat jasa-jasa orang yang telah meninggal, dan melupakan sisi-sisi keburukannya.

Semoga Pilprers 2014, merupakan momentum untuk mewujudkan rekonsiliasi tanpa sayarat. Selanjutnya kita kawal agenda reformasi kedepan, agar tidak lagi terulang pelanggaran HAM oleh siapapun kepada siapa pun.Wallhu alam.(anhadja-05-06-2014).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline