Lihat ke Halaman Asli

Novel: Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(48)

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412637671456985733

SERI 48

Kanjeng Adipati menjelaskan posisi Kadipaten Pasirluhur di tengah-tengah konflik antara Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Hindu Kediri yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit tahun 1478 M.

Ki Patih Reksanata mengangkat wajahnya dan bermaksud mengutarakan pendapatnya. Raden Silihwarna mendengarkan perbincangan dua tokoh utama Kadipaten Pasirluhur itu, yang menurut pendapat Raden Silihwarna cukup menarik. Memang, jika kelak Kanjeng Adipati menyetujui usul Ki Patih untuk mengangkat dirinya jadi  salah seorang tumenggung Kadipaten Pasirluhur, pokok-pokok yang tengah diperbincangkan itu, akan memudahkan Raden Silihwarna melaksanakan tugasnya.

Ki Patih berkata dengan suara merendah:

”Tetapi, Wirasaba juga harus berpikir beberapa kali jika ingin melakukan ekspansi ke barat melintasi Sungai Ciserayu, Kanjeng Adipati.  Wirasaba pasti tahu, Kadipaten Pasirluhur memiliki kemampuan untuk membuat-buat alat-alat perang.”

“Benar Ki Patih, tapi senjata juga tak banyak gunanya jika orang yang memegang senjata itu tak dapat menggunakannya dengan baik. Aku melihat daya tempur prajurit Kadipaten Pasirluhur sesungguhnya sedang menurun. Untungnya Wirasaba tidak mengetahui. Lagi pula mereka sedang sibuk menghadapi Demak,” kata Kanjeng Adipati dengan wajah  sedikit murung.

“Kita memerlukan ksatria yang cakap, untuk melatih dan menggembleng prajurit-prajurit kita, sehingga mereka memiliki semangat tempur yang tinggi. Kita harus ingat kita menghadapi ancaman potensial di masa depan dari dua arah,”  Kanjeng Adipati menjelaskan.” Ancaman pertama dari arah timur, dari Kadipaten Wirasaba. Ancaman kedua dari arah selatan, dari Kerajaan Nusakambangan yang baru muncul.”

“Eh, Raden mau minum apa?” tanya Kanjeng Adipati tiba-tiba , ketika muncul seorang pelayan wanita yang membawa baki bersisi minuman dan makanan olahan dari ketela pohon, dicampur parudan kelapa muda. ”Ini minuman dari  jahe rebus pakai gula aren. Kalau Raden menghendaki, arak juga ada? Arak dari Sunda Kelapa, mau Raden?”

“Cukup minuman wedang jahe  saja, Kanjeng Adipati. Tadi pagi sudah sarapan dengan minuman air nira di Dalem Kepatihan. Hebat juga Kanjeng Adipati punya simpanan arak Sunda Kelapa?” tanya Raden Silihwarna.

“Kiriman dari Adipati Imbanegara. Adipati Imbanegara itu masih kerabat dekat Uwa,” jawabnya kepada Raden Silihwarna.” Arak Sunda Kelapa paling bagus kualitasnya. Kabarnya banyak dicari pedagang-pedagang dari China, India, Parsi dan Arab yang singgah di Bandar Sunda Kelapa?”

“Betul sekali Kanjeng Adipati. Bandar Sunda Kelapa semakin ramai saja. Semakin banyak pedagang Asia yang singgah di Bandar Sunda Kelapa. Mereka gemar memborong arak dari Sunda Kelapa.  Manfaatnya banyak sekali. Berkhasiat obat. Di Padepokan Megamendung digunakan untuk obat patah tulang dan terkilir. Tetapi jika diminum bukan untuk obat, bisa membuat orang mabok. Makanya Ayahanda Sri Baginda, melarang para prajurit Pajajaran minum arak. Hanya diijinkan diminum jika untuk obat perut kembung, masuk angin, terkilir atau patah tulang. Orang China yang datang ke Sunda Kelapa  pandai mengolah lebih lanjut arak Sunda Kelapa itu menjadi anggur hitam,“  Raden Silihwarna menjelaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline