Lihat ke Halaman Asli

Mencoba Menulis Lagi...

Diperbarui: 21 September 2019   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : https://publishistory.wordpress.com/tag/writing/

Ini mungkin season kedua saya dalam menulis setelah vakum kurang lebih enam bulan. Berhenti menulis dulu selama enam bulan karena memang gaya tulisan di kompasiana mempengaruhi penulisan baku pada kerjaan saya. Jadi setidaknya saya harus berhenti dulu untuk belajar lagi menyiapkan karakter tulisan yang seimbang antara formal dan non-formal. Selain itu untuk menghimpun ide-ide yang lebih bermanfaat untuk dibaca, tidak hanya sekedar tema sexy yang mudah untuk diargumentasikan.

Ternyata memang menulis itu membutuhkan bakat dan perasaan yang tinggi dibandingkan dengan teknik dan rasionalitas nan mumpuni. Teman saya pernah bertuah kepada saya kalo penulis itu ibarat seniman, jika tak punya bakat menulis niscaya tidaklah mudah merangkai kata, pun jika dipaksakan menulis, tulisannya tak enak untuk dibaca macam penyanyi dengan suara tak merdu. 

Menulis juga membutuhkan jiwa sehingga bisa indah untuk dibaca, bagai pelukis menguratkan kanvasnya. Jika pelukis hanya mengejar pesanan saja tanpa idealisme maka lukisannya akan terasa kosong, tak ada jiwa pada karyanya. Itu juga pada penulis, jika menulis hanya untuk mengisi waktu semata, bukan atas panggilan jiwanya sepastinya tulisannya itu akan terasa membosankan.

Berbeda dengan seorang pewarta profesional, menulis berdasarkan fakta dan wawancara nara sumber, sehingga tulisannya akan mudah untuk dilaporkan. Tapi pada akhirnya karena mereka hidup dari menulis maka banyak wartawan yang narasi-narasinya sedap untuk dibaca.

Tetapi tanpa bakat alami pun, seseorang bisa menjadi seorang penulis yang hebat, bagai seseorang yang belajar alat musik, seiring waktu jika dia terus mengasah keterampilannya, besar kemungkinan dia menjadi seorang musikus andal

Gaya menulis seseorang memang berbeda-beda tetapi pada intinya seorang penulis yang baik memiliki tulisan yang renyah untuk dibaca dan sanggup mengisi rasa kepenasaran kita pada tulisannya. Ambilah contoh Deni Siregar dan Felix Siaw, dua orang dari kutub yang berlawanan dan memiliki gaya yang berbeda (entah dengan teori apa gaya-gaya tersebut dapat didefinisikan) memiliki alur tulisan yang logis dan dapat diterima oleh nalar (dengan kondisi yang objektif).

Di era digitalisasi dengan berbagai platform media, menulis untuk dibaca oleh khalayak bukan lagi menjadi suatu rintangan, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Disini juga muncul keironisan, banyak tulisan-tulisan hoaks yang dikemas dengan alunan kata logis, akibatnya muncullah banyak fitnah dan nyinyiran yang ditujukan pada seseorang atau kelompok.

Ditulis atau tidak, yang namanya kebohongan dan fitnah bukan lah suatu narasi yang menghibur apalagi mencerahkan, narasi hoaks tak lebih siasat sesat yang menjerumuskan pada kehancuran bersama.

So, marilah kita mulai belajar menulis lagi untuk memberikan pencerahan dan wawasan pada khlayak dengan menjauhi fitnah dan hoaks yang akhirnya bakal kita sesali.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline