Lihat ke Halaman Asli

Anju Lubis

Calon penulis besar (belum terwujud)

Ujian Terakhir

Diperbarui: 22 Desember 2019   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siswa-siswi diam di hadapan selembar kertas ujian, mencari jawaban dari pertanyaan dalam hati meski mereka tahu takkan ada jawaban di sana. Tidak seperti Pak Rusli yang malah bertanya-tanya dalam hati. Memang ia juga diam, tapi bukan memfokuskan pikirannya pada pertanyaan atau berusaha tidak mengganggu murid di hadapannya. Meski begitu, dari air mukanya dapat diketahui bahwa ia juga sedang menghadapi ujian. Selembar soal ujian penting. Ujian dengan pertanyaan yang tidak butuh jawaban, tetapi butuh waktu dan tekad biar terjawab. Beruntung siswa-siswi itu tidak lebih mementingkan ujiannya ketimbang wajah muram Pak Rusli.

Dalam kelas itu, ada tiga belas siswa dan sisanya siswi. Tempat duduk dibuat jarang-jarang, agar tak sampailah jangkauan mata orang melihat lembar jawaban meja di sebelahnya. Tetapi hal ini tidak mengendurkan pengawasan dalam ujian. Seorang guru yang berdiri di tengah ruangan, yang diberi perintah untuk tidak meninggalkan ruangan sedetikpun, serupa mercusuar menyorot setiap mata yang kadang bisa melewati batas penglihatan manusia biasa. Begitulah Pak Rusli, berdiri bersandarkan meja tepat di tengah ruangan, meski matanya tak acuh pada mata seluruh peserta ujian sebab sedang fokus dengan tanya yang mengambang di kepalanya. Mata Pak Rusli memang terbuka, tetapi tak dilihatnya beberapa tangan murid bermain dengan indahnya.

Marilah kita coba tebak apa pertanyaan yang sedari tadi diungkit dan mengusik Pak Rusli di hari besar ini. Tak bisa dipungkiri, ini memang hari yang besar. Ujian terakhir bagi setiap anak muda untuk melangkahkan kakinya ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi mereka yang sukses melewati ujian ini dengan nilai memuaskan, akan lulus dan berkemungkinan bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Bagi yang gagal, meski pada kenyataannya mereka semua akan lulus, mungkin berakhir menanjak ke dunia pekerjaan. Jenjang yang lebih pahit ketimbang perguruan tinggi. Namun bagi Pak Rusli apa besarnya hari ini? Ia takkan menanjak sebuah jenjang yang lebih curam lagi sebab dirinya telah berdiri di puncak bukit curam itu. Lantas apa tanya yang memencet-mencet kepalanya sehingga tak bisa dilihatnya aksi anak-anak muda itu?

Pak Rusli menatap kosong sekeliling, seolah ada sosok lain yang mencuri pandangannya. Pigura yang tergantung di sisi kanan atas dinding kelas, yang katanya dulu milik salah seorang alumni, yang telah memenangkan sebuah medali di pameran seni rupa lokal, tak sekalipun dilihatnya. Siswa lainnya, khususnya penghuni kelas itu, selalu menganggap pigura itu sebagai mahakarya. Memang lukisannya sederhana, hanya berisikan sebuah rumah kecil di tengah pematang. Rumah kecil itu digambar kecil, dalam artian tidak memenuhi seluruh pigura, mirip sorotan rumah dari kejauhan. Yang paling istimewa, dan yang paling mungkin membuat pigura itu memenangkan sebuah medali barangkali karena dua objek kecil di depan rumah kecil. Kalau dilihat dari dekat, objek itu adalah sepasang insan yang berpelukan. Satunya berkulit agak kegelapan, dan satunya lagi putih wajahnya mengenakan hijab yang putih juga. Di kedua wajah yang dilukiskan dari kejauhan itu, terlihat sesimpul senyum kecil di bibir dan di mata mereka. Seluruh pematang memang digambarkan begitu indah, dengan variasi warna persis alami, tetapi sepasang insan itulah barangkali poin utama pigura.

Guru yang menjadi wali kelas itu, selalu menceritakan bagaimana pigura itu dipajang di sana. Biasanya di pertemuan pertama ia akan menjelaskan bagaimana alumni mereka membuat pigura hanya berdasarkan tempat tinggal kakek-neneknya di kampung. Menurutnya, menceritakan hal ini bisa menumbuhkan kepekaan dan kreatifitas anak-anak muda itu. Pak Rusli, pertama kali melihat pigura itu adalah ketika ia masuk ke kelas ini. Baru saja, sebab ia sesungguhnya guru dari sekolah lain yang ditugaskan mengawas ujian di sekolah ini. Waktu ia masuk ke kelas, ia menangkap mata beberapa siswa yang diarahkan ke pigura itu. Ketika ditanyanya, salah seorang siswa bahkan antusias menjawab bahwa ia juga ingin menjadi seorang yang akan dikenang seperti alumninya itu. Mungkinkah pigura itu yang membuatnya dililit tanya sedari tadi?

Masih terlalu cepat menyatakan keputusan seperti itu. Kemungkinan lainnya adalah ia sedang memikirkan siswa-siswi yang ada di depannya. Sebagai seorang guru, murid adalah buah karya seninya. Pak Rusli sesungguhnya bukan guru yang terlalu cakap mengajar, tetapi ia berusaha. Sebagai guru bahasa, ia selalu menyatakan bahwa bahasa sama pentingnya dengan ilmu lain. Ia memang tidak bisa membuat muridnya secerdas politisi dalam memilah kata-kata. Namun setidaknya, ia mengajarkan pada mereka bagaimana tata krama baik dan santun. Ia sendiri mencontohkan semuanya. Ia selalu berusaha santun meski bercakap-cakap kepada murid dan guru. Ada murid yang mengatakan ia terlalu baik. Ada juga yang mengatakan ia penjilat. Tapi jangan salah sangka, ia memang terlalu baik pada murid-muridnya. Sesampainya di kelas ini, ia telah melihat beberapa siswa yang keji mulutnya. Beberapa kata kotor terbersit telinganya saat beberapa siswa bercakap-cakap sebelum lembar ujian dibagikan. Mungkinkah ia khawatir bagaimana siswa-siswi ini akan melangkahkan hidupnya di kemudian hari?

Masih terlalu cepat menyimpulkannya. Kadang ada beberapa kemungkinan yang tidak terpikir oleh manusia lain yang bisa terpikirkan oleh individu lainnya. Mungkin ia sedang mengalami kesialan pagi tadi, di sebuah angkutan umum yang biasa ia tumpangi. Sebuah kejadian yang mengusik kepalanya sampai kini. Atau mungkin ia sendiri sedang sakit. Dan tidak bisa fokus pada siswa-siswi di hadapannya. Atau mungkin karena ini adalah kali pertamanya menjadi seorang pengawas ujian sebab ia baru menjadi guru selama setahun. Akan selalu ada kemungkinan jika dipikirkan. Masalahnya manakah kemungkinan yang benar? Manakah kemungkinan yang paling cocok bagi seorang budiman seperti Pak Rusli.

Pak Rusli yang berdiam sedari tadi baru saja tergerak merasakan getaran dari ponsel di sakunya. Syukur kepada Tuhan sebab barangkali inilah alasan ia berpikir keras. Nama yang tercantum di layar telepon itu adalah istrinya, Fenita. Ia semula memilah-milah, sebelum akhirnya berjalan keluar kelas mengangkat telepon itu. Namun ia tampak tak begitu resah. Ia hanya membalas 'ya' atau 'tidak' beberapa kali dengan air muka datar seolah ini hal yang biasa. Fenita, istri Pak Rusli, bukan tipe wanita yang biasa berbincang. Pak Rusli yang semula memikat hati Fenita, adalah yang biasanya memulai obrolan. Anehnya kali ini Fenita yang menelepon meski tak sampai lima menit telepon ditutup dan Pak Rusli pun kembali ke kelas sambil menghela nafas panjang. Ia mengusap wajahnya lalu matanya kembali menerawang ke langit-langit seolah di langit-langit kelas mengambang awan-awan tanya penyesak kepala Pak Rusli.

            Ujian usai saat sebuah bel berbunyi, seluruh murid mulai mengobrol. Satu per satu mereka mengumpulkan jawaban lalu mengobrol sama temannya. Mereka kelihatan begitu ceria, agak aneh memang. Mereka belum tahu bagaimana hasil ujian mereka namun mereka sudah begitu ceria. Mungkin inilah budaya anak-anak muda, menikmati sebuah kesenangan semu. Tetapi coba lihat wajah Pak Rusli yang menegang. Urat-uratnya nongol dari balik kulit di sekitar jidat. Ia tampak seolah merasa gagal di ujian dalam kepalanya. Siswa-siswi di hadapannya ada yang meloncat-loncat, cekikikan, lalu tos satu sama lain. Pak Rusli duduk di mejanya, mengonjat semua lembar jawaban dan soal yang ada ke dalam map cokelat seraya beberapa kali menggeretakkan giginya.

            Pak Rusli berjalan keluar dan seketika itu juga terdengar beberapa sorakan murid serempak. Dari kelasnya atau tidak, ia tetap berjalan menuju ruang guru. Di ruang guru, beberapa guru juga sedang cekikikan, mengobrol, dan mungkin juga akan meloncat-loncat kalau saja mereka tidak lanjut usia. Ia kemudian menyerahkan berkas itu ke tangan seorang guru, duduk sejenak lalu tak lama kemudian pamitan pulang. Katanya ada urusan penting. Kemudian ia hanya berjalan dan berjalan. Beberapa hari kemudian ia mengajukan pengunduran diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline