Lihat ke Halaman Asli

Republik Nepotisian

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(esai Anjrah Lelono Broto di Harian Bhirawa, 06 Desember 2011)

Satu prestasi bersama dalam Gerakan Reformasi (1998) menghasilkan amandemen Pasal 7 UUD 1945 yang kemudian mengatur 'dengan hormat' agar figur presiden di Indonesia hanya boleh menjabat maksimal dua kali periode. Artinya jelas, Presiden SBY dilarang keras untuk turun dalam pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 nanti.

Akibatnya, meski Pilpres 2014 bolehlah dikata jauh di mata, namun ternyata telah dekat di hati. Polemik tentang figur yang akan turun dalam pertarungan memperebutkan sabuk gelar 'pemimpin negara' versi Republik Indonesia periode 2014-2019 telah mengemuka. Sederet nama mondar-mandir dalam pemberitaan di media massa, bahkan beberapa lembaga survey pun ambil bagian untuk mengetahui elektabilitas nama-nama yang beredar tersebut.

Lembaga survey pun beradu ketajaman pisau untuk mengukur elektabilitas figur-figur yang mencuat ke permukaan. Bahkan, secara lantang ada sebuah lembaga survey yang cenderung menciptakan dikotomi politikus tua dan politikus muda, yang pada akhirnya cenderung mendiskreditkan salah satu.

Namun, dari sekian banyak nama yang dikibarkan atau ditenggelamkan oleh beberapa lembaga survey tersebut alih-alih menjumpai nama baru dalam polemik tersebut. Sederet nama seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subijanto, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Ani Yudhoyono, Surya Paloh, Jusuf Kalla, hingga generasi di bawahnya seperti Sri Mulyani, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), dan Puan Maharani, dan beberapa nama lain merupakan nama yang memiliki tautan dengan seniornya yang lebih dulu terjun dalam dunia kelindan kekuasaan di tanah air.

Beberapa nama lain yang sempat beredar, seperti Rizal Ramli, Abdul Mukhti Fajar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar kelihatannya harus memilih status calon independen yang mana keabsahan keikutsertaan mereka dalam pertarungan memperebutkan sabuk gelar 'pemimpin  negara' tersebut 'terganjal' putusan Mahkamah Kontitusi (MK).

Realitanya, dinamika politik baik di level pusat maupun di level daerah memperlihatkan perkembangan yang mengarah pada pembentukan klan demi klan sebagaimana di era Orde Baru. Jabatan di lingkaran eksekutif hingga legislatif kembali dipenuhi oleh pribadi-pribadi yang memiliki tautan keluarga (nepotisme). Tentang siapa-siapa saja, serta di mana saja, media massa kita dengan detil telah menginformasikannnya kepada publik. Dus, andai kita lebih jujur mengakui, sejatinya Indonesia tidak pernah mengalami pendewasaan demokrasi yang berarti karena suksesi kepemimpinan di tanah air, tidak pernah bergeser dari perspektif "Dari Klan Ke Klan". Dengan kata lain, masih dalam spirit nepotisian yang mengakar tunjang.

Kurang lebih, ada dua hal utama yang menjadi habitat suburnya politik nepotisian dalam kelindan kekuasaan Indonesia.

Pertama, faktor nepotisme kapital. Kapital, dalam konteks ini berupa modal uang serta modal sumber daya manusia (SDM)nya. Adagium, "apa yang tak bisa dijual dan dibeli di Indonesia?" merupakan konklusi prima yang menasbihkan hegemoni modal uang dalam penentuan nilai kemanusiaan di Indonesia. Uang berperan besar ing dalam kancah politik Indonesia hari ini. Tak hanya sebagai penutup biaya kampanye, uang juga berkuasa dalam membeli rekomendasi ketua partai politik (parpol), membeli suara konstituen, bahkan membeli hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka, adalah sebuah kewajaran apabila pribadi yang berangkat dari lingkungan keluarga kaya (borjuis) lebih mudah memenangkan pertarungan dalam kancah kelindan kekuasaan tanah air.
Kedua, faktor nepotisme historia. Dominasi klan-klan besar yang telah berkuasa sebelumnya menjadi investasi berharga bagi generasi berikutnya sehingga adalah sebuah kewajaran apabila konstituen merasa 'dekat' dengan figur yang jelas garis keturunannya.  Sebagaimana ketika dalam kultur Jawa ketika menimbang calon menantunya di mana bibit (keturunan) bersanding dengan bobot (kualitas), dan bebet (akhlak) menjadi parameter kuat bahkan hingga di luar kesadaran.

Di era yang konon bernama demokrasi ini, pengaruh klan-klan tersebut masih begitu kental. Figur yang berlatar belakang keluarga borjuis dan berpengaruh, relatif lebih diterima ketimbang yang berasal dari kejelataan publik (proletar). Meski secara kualitas, sederet nama yang terpaksa masuk dalam gerbong calon independen berani bersaing ketimbang Ibas maupun Puan, namun elektabilitas dua yang terakhir tak dapat dipandang dengan sebelah mata. Mengapa? Karena konstituen besar kemungkinan akan menempatkan figur leluhurnya seperti Bung Karno, Megawati, SBY, Sarwo Eddy Wibowo, dll sebagai materi pertimbangan untuk memilih.

Lalu, salahkah jika konstituen di tanah air ini masih mendewa-dewakan ikatan emosional ketimbang rasional dalam memilih pemimpin negaranya?

Meski harus jujur diakui bahwa politik nepotisme adalah embrio pembunuh kesejatian demokrasi namun harus kita sadari bahwa bangsa kita memang tidak pernah menghargai demokrasi sebagai spirit mendasar bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mari lebih jujur mengakui bahwa kita memang hidup di Republik Nepotisian.

****

http://www.harianbhirawa.co.id/opini/39344-republik-nepotisian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline