Lihat ke Halaman Asli

Pesta Perpisahan yang Memprihatinkan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

“Buka hatimu… Bukalah sedikit untukku… Sehingga diriku bisa memiliku… Betapa sakitnya… Betapa perihnya hatiku… Selalu dirimu… Tak menganggapku ada…” Siapa yang tidak kenal dengan refrain lagu Band Armada ini? Hampir setiap hari, baik stasiun televisi, radio, atau penjual kaset CD di pinggir jalan pasti memperdengarkan lagu “Buka Hatimu” ini. Dengan kata lain, telinga kita telah telah begitu terbiasa mendengarnya.

Menjadi ‘kurang biasa’ ketika ternyata lagu tersebut dilantunkan dari bibir seorang siswi Kelas V sekolah dasar (SD) dalam perhelatan pesta perpisahan (akhirussannah) sekolahnya yang notabene dekat dengan tempat tinggal penulis. Malam itu, sekolah dasar X menggelar pesta perpisahan. Lagu “Buka Hatimu” yang bertema kedalaman rasa cinta ini dibawakan dengan penuh penghayatan oleh Sang Siswi Kelas V SD tersebut, yang malam itu mengenakan kaos ketat dengan belahan dada yang turun, mengenakan celana pendek berstocking merah muda, serta saputan rias wajah yang terlalu ‘dewasa’. Biasakah kita melihat seorang siswi SD mengenakan busana dan menyanyikan lagu seperti itu?

Jelang tutup tahun pelajaran, pesta perpisahan adalah gerak kultur yang merata diperhelatkan oleh masyarakat kita. Baik di level pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar, hingga sekolah menengah tingkat atas. Agenda perhelatan ini juga menjadi konsumsi wajar baik bagi masyaraikat di perkotaan maupun pedesaan.

Dalam perhelatan pesta perpisahan tersebut digelar berbagai hiburan berupa atraksi yang ditampilkan oleh anak-anak, bahkan terkadang menghadirkan bintang tamu, sehingga berlangsung dengan semarak. Dalam hemat penulis, pesta perpisahan selain menjadi wahana silahturakhim antara sekolah dengan wali murid serta masyarakat di sekitar lingkungan sekolahnya, pesta perpisahan juga menjadi media promosi yang efektif dalam menarik simpati masyarakat dalam kaitannya dengan penerimaan siswa baru (PSB). Mengingat, gebyar panggung yang ‘wah’, luar biasanya penampilan siswa-siswinya, serta berkesannya penampilan Sang Bintang Tamu, dapat membangun citra positif sekolah sehingga masyarakat tertarik untuk menitipkan anak-anaknya guna menimba ilmu pengetahuan di sekolah tersebut.

Kembali ke atas panggung, malam itu saya yang sedang mengantarkan anak jalan-jalan disuguhi penampilan beberapa anak perempuan asyik menggoyangkan pinggul dengan iringan Lagu “Aishiteru” yang dikemas ala dangdut koplo dari CD player. Setelah saya bertanya kepada seorang ibu-ibu yang di samping saya, saya baru tahu kalau beberapa anak perempuan tersebut adalah siswi kelas VI yang baru lulus. Anak-anak perempuan yang malam itu mengenakan pakaian ‘menantang’ meliuk-liuk dengan lincahnya berjoget ala penari latar di televisi.

Saya terbelalak. Anehnya, bapak dan ibu guru, tamu undangan, wali murid, maupun penonton pada umumnya justru tersenyum-senyum dan mengangguk-anggukan kepala melihat penampilan anak-anak perempuan tersebut. Meski, telinga saya menangkap beberapa suitan nakal cowok ABG yang malam itu menjalani peran mereka menjadi penonton.

Seusai penampilan yang boleh saya sebut agak seronok tersebut seorang Ibu Guru yang didhapuk menjadi MC naik ke atas panggung dan dengan bangga menginformasikan bahwa anak-anak perempuan yang baru saja tampil merupakan hasil pendidikan dan pelatihan Ibu Guru Y. Anehnya, penonton yang bergerombol di sekitar panggung justru bersorak dan bertepuk tangan memberikan apresiasi positif. MC pun mempersilahkan Ibu Guru Y untuk naik ke atas panggung. Langkah kaki Ibu Guru Y yang kebetulan masih muda dan berwajah mirip-mirip Cut Tari pun disambut sorak-sorai yang semakin menggemuruh. Dalam hati kecil, saya menggumam, “Pantas, wong Ibu Gurunya secantik Cut Tari maka jangan heran kalau bisa mencetak Cut Tari-Cut Tari Baru yang dapat mengundang keblingernya Ariel-Ariel yang lain”.

Adalah sebuah tradisi sejak lama, pesta perpisahan menjadi ajang unjuk kompetensi, potensi, kreasi, serta refleksi hasil pendidikan selama satu tahun pelajaran. Agenda unjuk-unjukkan ini teruma difokuskan pada wilayah seni dan budaya sejalan dengan konteks agenda. Di masa-masa yang lalu, dalam pesta perpisahan, penampilan anak-anak didominasi dengan tarian-tarian tradisional, nyanyian lagu-lagu daerah, berdeklamasi, berpidato, dan lain-lain. Fokus penampilan seperti ini menurut hemat penulis lebih bernuansa pendidikan. Secara konkrit, penampilan ini menggambarkan bahwa anak-anak telah dikenalkan (dipahamkan) hal-hal tentang moral, alam, lingkungan, cinta tanah air, dll.

Namun hari ini, seiring dengan teknologi media dan informasi, pesta perpisahan tak banyak bedanya dengan agenda pertunjukkan di layar kaca. Dengan mudahnya, konten dan artistik pertunjukkan di layar kaca yang notabene dilakonkan oleh orang dewasa dicopy paste ke dalam perhelatan pesta perpisahan. Akibatnya, panggung pesta perpisahan tidak lagi diisi tarian atau nyanyian lagu-lagu daerah. Namun, berubah menjadi panggung yang diisi anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa bertemakan cinta, merengek-rengek karena tidak segera dibalas cintanya sebagaimana materi Lagu “Buka Hatimu”, dan memuja-muja sang kekasih sebagiamana dalam Lagu “Aishiteru”. Semakin ironis ketika hal-hal yang belum layak dikonsumsinya tersebut dibawakan dengan busana maupun gerak tubuh yang tidak mencerminkan jenjang usia dan pendidikan.

Satu tanya dalam benak saya, “Mengapa bapak dan ibu guru sebagai penanggung jawab geliat pendidikan di sekolah justru ‘memaksa’ menampilkan sesuatu yang belum layak dinikmati dan dilakukan anak-anak didiknya?”

Jawabannya, tentu hanya bisa diberikan oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, alangkah bijaksananya andaikata bapak dan ibu guru di sekolah dapat meniadakan sesuatu yang belum pantas dinikmati dan dilakukan anak-anak didiknya.tersebut dari panggung pesta perpisahan. Karena, penampilan anak-anak didik dengan materi dan lakuan yang belum layak dikonsumsinya tersebut justru hanya akan mengundang stigma negatif akan kedirian guru dan kualitas pendidikan di sekolah tersebut.

Pada bagian inilah, guru sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih dapat menjaga kebersihan habitat pertumbuhan psikologi anak-anak didiknya dari pengaruh-pengaruh negatif. Bukan sebaliknya, justru mengenalkan-memahamkan sesuatu yang berpotensi buruk pada perkembangan kejiwaan dengan menjejalkan nyanyian dan goyang pinggul seronok yang pada dasarnya belum layak konsumsi bagi anak usia sekolah dasar.

Padahal masih banyak materi kesenian (lagu dan tarian) yang mengusung aura pedagogis sebagai konten panggung pesta perpisahan, seperti lagu-lagu yang bertema lingkungan, keluarga, rajin belajar, sebagaimana lagu-lagu ciptaan AT Machmud, Bu Kasur, Pranadjaya.

Selain itu, masih banyak produk-produk kesenian dan kebudayaan daerah seperti tari Remo di Jawa, Tari Jaipong di Sunda, dll, yang dapat ditampilkan oleh anak-anak usia sekolah dasar di panggung pesta perpisahan sekolahnya. Penempatan produk-produk kesenian daerah sebagai materi yang diajar-kenalkan oleh guru kepada siswa, dengan sendirinya akan membentuk pribadi yang berkarakter, berbudaya, dan memiliki rasa cinta tanah air yang kuat. Penempatan produk-produk kesenian daerah ini juga akan menghasilkan output pendidikan yang tidak lupa dengan akar ke-Indonesia-annya, sehingga fenomena tereliminasinya kultur dan moral yang Indonesiais dapat dimentahkan sejak dini.

Sayangnya, bapak dan ibu guru, para wali murid, serta masyarakat sendiri justru manggut-manggut dan tidak terusik dengan penampilan panggung anak-anak yang meninggalkan jauh esensi dari pendidikan itu sendiri. Atraksi atraksi panggung yang yang bermuatan pendidikan justru ditinggalkan dan yang tidak mendidik dipandang sebagai sebuah kewajaran.

Mungkin saja, fenomena di sekolah X dengan guru Y ini terjadi karena bapak ibu guru di sekolah tersebut telah melupakan fungsi, tanggung jawab, serta profesionalitasannya. Sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik dalam mengemas aksi anak-anak didiknya di atas panggung pesta perpisahan. Alhasil, mereka pun tidak menyadari telah memasukkan racun ke dalam benak anak-anak didik sendiri.

Upaya penyelamatan anak-anak kita dari atraksi pertunjukan yang meracuni tersebut adalah sebuah langkah yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Adalah sebuah keharusan, pemerintah dan atau pihak-pihak terkait melakukan langkah-langkah nyata. Suatu missal, contohnya, setiap kepala dinas pendidikan di daerah atau bupati mengeluarkan surat edaran guru dan kepala sekolah dasar dilarang menampilkan anak didiknya menyanyikan lagu-lagu orang dewasa dan menampilkan sesuatu yang seronok dalam perhelatan pesta perpisahan di sekolahnya. Setiap sekolah, dalam pesta perpisahannya diwajibkan menampilkan pertunjukkan produk-produk kesenian dan kebudayaan daerah.

Sembari menggandeng tangan anak saya pulang, saya berdoa, semoga ketikadewasa nanti anak saya tidak menjadi generasi yang cengeng, dan suka tampil seronok. Samakah doa saya dengan doa anda?

************

*) Litbang LBTI, dan Anggota Senior Teater Kopi Hitam Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline