Lihat ke Halaman Asli

Penyelenggara Negara Sebagai Pelayan Publik

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Negara berdiri di atas sebuah kontrak sosial antar warganegara (citizen). Warganegara yang telanjur terikat dalam sebuah kesepakatan bersama hidup serta berkarya di bawah paying negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam penyelenggaraan negara. Demi kelancaran operasionalisasi penyelenggaraan negara, dipilihlah sebagian anggota warganegara untuk bersedia mengemban amanat menjadi penyelenggara negara (government). Warganegara dan penyelenggara negara masing-masing memiliki hak dan kewajiban, warganegara diwajibkan untuk mematuhi peraturan yang disusun oleh penyelenggara negara dan berhak untuk mendapatkan pelayanan yang optimal dari penyelenggara negara. Sebaliknya, penyelenggara negara juga diwajibkan untuk mampu menyusun peraturan yang menciptakan ketertiban dan kenyamanan warganegara, serta melayani warganegara dengan seoptimal mungkin.

Dongeng embrio penyelenggaraan negara inilah yang menjadi bahan bakar awal dirumuskannya UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP). UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP) merupakan langkah signifikan sebagai landasan hukum pelaksanaan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah kewajiban penyelenggara negara. Urgensi posisi penyelenggara negara sebagai penanggung jawab utama perlindungan dan pemenuhan kebutuhan warganegara. Walau dalam realitanya, cabang-cabang kekuasaan penyelenggaraan negara dibagi dengan wilayah privat, tetap saja pelayanan publik menjadi acuan utama penyelenggaraan negara. Atau dalam bahasa W. Tejakusuma, “Keberadaan negara, korporasi dan badan-badan hukum privat lainnya menempati posisi sentral dalam mengimplementasikan tanggung jawab dan kewajiban memenuhi hak-hak dasar masyarakat.”

UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP) menempatkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR dalam konsiderannya. Ini berarti, dua instrumen pokok HAM itu menjadi pedoman dan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam bingkai standarisasi pemenuhan HAM. Sebagai pelayan publik, yakni penyelenggara negara, korporasi, lembaga-lembaga independen dan badan-badan hukum yang dibentuk untuk tujuan tersebut, dituntut menyadari peran dan posisinya dalam simbiosisnya dengan warganegara.

Mewujudkan pemerintahan yang bersih (good government) mempunyai keterkaitan yang erat dengan pelayanan publik, sehingga, kehadiran UUPP menuntut untuk dipahami penyelenggara negara dan warganegara secara holistik. Meretas pemahaman holistik tersebut menempatkan sosialisasi dan diseminasi UUPP menjadi integral guna mendulang pemahaman holistik, tidak saja publik yang cerdas akan hak dan kewajibannya melainkan juga kecerdasan para penyelenggara pelayanan publik dalam menerapkan standar pelayanan yang berkualitas.

Komunikasi Kultural Indonesia

Penerapan UUPP di Indonesia berhadapan dengan pola komunikasi kultural bangsa ini yang sedikit banyak berbeda dengan konsep kontrak sosial penyelenggaraan negara yang diadopsi pemerintah kita. Secara gamblang, pola komunikasi yang terbangun di antara warganegara dan penyelenggara negara di tanah air tidak dikembangkan berdasar pada kesetaraan posisi dan kedudukan warganegara. Pola komunikasi yang terbangun antara warganegara dan penyelenggara negara di Indonesia berakar pada pola komunikasi rakyat dengan penguasa yang berbasis kultural.

Kultur masyarakat Indonesia yang dikembangkan dalam tata masyarakat oligarkhi dengan kerajaan sebagai sistem pemerintahannya melandasi membentuk paradigma ‘rakyat adalah pelayan penguasa’, bukan sebaliknya. Secara historis, kultur ini berakar pada stereotype masyarakat yang dikembangkan dalam agama Hindhu-Budha yang menciptakan stratifikasi kasta-kasta. Rakyat masuk dalam kasta Waisya dan Sudra, sedangkan penguasa menjadi wilayah prerogatif kasta Ksatria. Adalah ketidakniscayaan apabila kasta Ksatria sebagai kasta yang lebih tinggi ‘melayani’ kasta Waisya dan Sudra.

Meski masa keemasan kultural Hindhu-Budha telah lampau berlalu dan ditimpa oleh masuknya kultur yang datang bersama persebaran Islam, Kolonialisme Barat, Modernisasi, dan Globalisasi namun akulturasi yang terjadi justru senantiasa menyelamatkan pola komunikasi ‘rakyat adalah pelayan penguasa’ ini. Kultur Islam yang berkembang di tanah air juga tetap mengkotak-kotak masyarakat dalam strata yang tidak setara, ada kelas Santri, Abangan, Kyai Khos, Kyai Kampung, dan lain-lain. Masing-masing entitas kelas juga terjebak dalam strata yang menterjemahkan ‘melayani’ menjadi pengertian yang menguntungkan kelas yang lebih tinggi. Kelas Santri, Kyai Kampung, menempatkan Kyai Khos sebagai kelas yang lebih tinggi dan wajib untuk di’layani’.

Meski terkesan terlalu menjustifikasi, andaikata kita semua bersedia jujur menilai maka bukankah fenomena tersebut yang berkembang di sekitar kita hari ini?

Realitanya, birokrat yang merupakan perpanjangan tangan penyelenggara negara di Indonesia juga ‘terlena’ dengan kenyamanan paradigma komunikasi ‘rakyat adalah pelayan penguasa’ ini. Tengoklah fenomena ketika mobil pejabat lewat dimana lalu lintas di’paksa-bersih’kan! Fenomena ini menjadi petanda bahwa penyelenggara negara lebih menuntut untuk dilayani ketimbang rakyat sebagai warganegara. Kondisi ironis semacam inilah yang menjadi ‘batu sandungan’ penerapan UUPP secara optimal.

Koruptifitas Pelayanan Publik

Mantan sekjen PBB, Kofi Annan, menyatakan bahwa korupsi membuat negara tidak bisa maju karena ketidakmampuan mengelola kebutuhan dasar warga negaranya. Kondisi semacam ini tentu saja memengaruhi geliat iklim investasi. Peter Langseth, Manager Program Global Programme Againts Corruption dalam makalahnya berjudul “Prevention; an Effective Tool to Reduce Corruption” (1999) juga mengatakan bahwa pemerintahan yang bersih merupakan cermin dari sikap antikorupsi. Pemerintahan yang bersih adalah kenyataan yang diterima umum sebagai respon terhadap tatanan hidup yang berwibawa dan bermartabat.

Penyelenggara negara yang mengabaikan hak warganegara menikmati pelayanan publik dapat dikategorikan sebagai lakuan penyalahgunaan kewenangan yang dan wajib dikenai sanksi. Selama ini, pelayanan publik di Indonesia tergolong sangat buruk, merujuk pada posisi Indonesia dalam pemeringkatan korupsi dunia.

Laporan Transparency Internasional (TI) dalam kurun 1998-2008 selalu menempatkan Indonesia dalam peringkat negara terkorup di dunia. Tahun 1998 (peringkat 6 dari 85 negara), tahun 1999 (peringkat 3 terkorup dari 98 negara), tahun 2000 (peringkat 5 terkorup dari 90 negara), tahun 2001 (peringkat 4 terkorup dari 91 negara), tahun 2002 (peringkat 6 terkorup dari 102 negara), tahun 2003 (peringkat 6 terkorup dari 133 negara), tahun 2004 (peringkat 5 terkorup dari 146 negara), tahun 2005 (peringkat 5 terkorup dari 158 negara), tahun 2006 (peringkat 7 terkorup dari 163 negara), tahun 2007 (peringkat 10 terkorup dari 179 negara), dan tahun 2008 (peringkat 15 terkorup dari 180 negara; dengan skor IPK 2,6 bersama dengan Ethiopia, Uganda, Honduras dan Libya).

Memprihatinkannya IPK korupsi Indonesia, patut dicermati secara bijak, bukan sebagai kanon mendiskreditkan pemerintah atau penguasa. Sebab, maraknya perilaku koruptif berbanding lurus dengan memburuknya pelayanan publik. Ketika penyelenggara pelayanan publik terseret dalam arus besar penyalahgunaan kewenangan maka kualitas pelayanan publik sebagaimana yang diatur dalam UUPP justru akan mencederai kontrak sosial antara warganegara dengan penyelenggara negara.

Hendak dibawa kemana warganegara Indonesia apabila hak-hak dasarnya untuk menikmati pelayanan publik secara optimal tidak terpenuhi?

Kewajiban Penyelanggara Negara

Penyelenggara negara yang akuntabel adalah kesamaan visi pencapaian cita-cita sebuah bangsa melalui mekanisme terhormat dan prosedural yang disebut dengan konstitusional. Dengan sendirinya, korupsi adalah pengingkaran terhadap kesamaan visi tersebut. Maka korupsi merupakan pelanggaran konstitusi yang wajib hukumnya untuk diposisikan sejajar dengan tindak kejahatan subversif karena membahayakan keberlanjutan kontrak sosial warganegara.

Pelayanan publik menggambarkan optimasilisasi potensi negara dalam memenuhi kebutuhan pelayanan, baik barang, jasa dan administrasi. Pentingnya pelayanan publik penting dilandasi pemahaman bahwa publik (warga Negara) memiliki hak untuk dilayani segala kebutuhan dasarnya. Pengertian dilayani harus dimaknai sebagai kewajiban dan tanggung jawab negara secara konstitusional untuk melindungi dan memenuhi HAM. Maka, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak (A2UPL) menjadi rambu-rambu bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Berdasarkan kewajiban konstitusional negara, maka setidaknya mengandung dua unsur penting dalam kewajiban, yakni (1) kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan (2) kewajiban untuk berdampak (obligation to result). Kewajiban pertama mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak (requires action reasonably calculated to realize the enjoyment of a particular right). Contohnya, negara melakukan pembangunan sekolah, menjamin tersedianya guru dan fasilitas pendidikan serta mengalokasikan anggaran yang terukur.Kewajiban kedua, mengharuskan negara melaksanakan dan memenuhi standar substantif yang terukur (requires sates to achieve specific targets to satisfy a detailed substantive standard). Contohnya, negara membuat program dalam lima tahun ke depan seluruh masyarakat akan memiliki akses pendidikan dasar sembilan tahun.

UUPP juga mengamanatkan hadir dan berperannya Ombudsman. Sebagai lembaga negara yang independen, Ombudsman yang kini telah diatur dalam UU No. 37 tahun 2008, memiliki peran strategis dalam mengawasi dan mendorong penyelenggaraan pelayanan publik yang bersih. Kita semua tentu berharap bahwa perkembangan positif ini mampu merekayasa konstruk kelembagaan dan manajemen penyelenggara pelayanan publik di Indonesia yang optimal.

Penguatan kapasitas kelembagaan, khususnya di daerah, merupakan faktor determinan yang memengaruhi struktur dan kewibawaan institusional penyelenggara pelayanan publik. Karena pada hakekatnya, otonomi daerah dengan di antara paketnya menghadirkan kebijakan pemekaran daerah, adalah proses mendekatkan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pemerintah. Seyogianya pula mampu mewujudkan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat, khususnya kepada kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM (vulnerable groups).

UUPP semakin mempertegas posisi masyarakat dalam menuntut secara hukum terpenuhinya pelayanan publik. Selain terbukanya peluang yustisiabilitas tersebut, UUPP mengamanatkan adanya standar pelayanan sebagai acuan dalam menilai kualitas pelayanan publik bagi masyarakat Indonesia. Semoga penerapan UUPP memberikan harapan baru tegaknya negara hukum dalam bingkai tata kelola pemerintahan dan korporasi yang bersih dan menanamkan paradigma bahwa pemerintah adalah pelayan publik.

Amien.

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline