Lihat ke Halaman Asli

Ada Apa dengan Selebritis? (AADS?)

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Belakangan ini publik dihempas pro dan kontra keberlanjutan tayangan infotainment di media massa. Tayangan yang oleh mayoritas ulama’ di tanah air sebagai industrialisasi ghibah (bergunjing) ini menempatkan sosok selebritis sebagai patron tunggal tinggi-rendahnya rating. Selebritis menjadi primadona yang memegang hememoni pengidolaan publik hingga sebagaian besar ABG di tanah air mengimani cara berpakaian mereka, tindak tutur mereka, bahkan cara berpikir mereka. Tetapi, siapakah sebenarnya selebritis itu? Dari planet mana makhluk berjenis selebritis itu? Mengapa selebritis begitu diidolakan hingga berulang-ulang wajahnya menghiasi layar kaca?

Secara etimologis, kata ‘selebritis’ merupakan bentuk penyerapan kosakata (alih kode) Bahasa Inggris ‘celebritist’, yang berarti ‘orang yang dekat dengan perayaan’. Ketika terserap ke dalam Bahasa Indonesia, kata ‘selebritis’ mengalami pergeseran makna menjadi ‘orang yang terkenal atau populer’. Kepopuleran mereka terkerek menjulang sebagai imbas progresivitas mereka dalam dunia showbiz (sinetron, musik, terutama film).

Padahal, kita telah memahami bahwa industri pertelevisian tanah air, bahkan dunia, menempatkan dunia showbiz sebagai roh penentu hidup-matinya sebuah stasiun televisi. Sebuah stasiun televisi sangat bergantung pada fluktuasi rating tayangan-tayangan acaranya. Tinggi-rendahnya rating menentukan kuantitas iklan yang menjadi menjadi sumber penghidupan stasiun televisi. Dunia showbiz menempati posisi terhormat dalam menentukan tinggi-rendahnya rating sebuah tayangan acara stasiun televisi. Penempatan ini ‘memaksa’ stasiun televisi untuk menayangkan genre-genre acara yang menempatkan selebritis sebagai magnet penariknya, seperti infotainment, reality show, comedian show, talk show, dan lain sebagainya.

Akibatnya, tiada hari tanpa nongolnya selebritis di layar kaca rumah kita. Hari ini siapa yang tidak mengenal Luna Maya, Anang, ST 12, Nikita Willy, hingga Si Imut Baim. Beragam latar belakang usia maupun kompetensi yang mempopulerkan mereka tidak menjadi pertimbangan, asalkan pribadi yang bersangkutan nampang di layar kaca dengan identitas selebritis dijamin tidak akan sepi job dan setiap pernik-pernik kehidupannya akan menjadi sorotan publik.

Martin Heidegger (1889-1976) dalam “Being and Time” pernah mengemukakan bahwa keberadaan kita sebagai manusia hanya dapat dimaknai atau dikenali kalau kita menyaksikan tontonan mengenai selebritis yang seluruh waktu penayangannya berada dalam hegemoni media televisi. Dasar dari bagaimana cara kita berada (mode of being) dalam dunia ini hanya dapat dipahami apabila kita berpartisipasi dalam tontonan tentang kehidupan selebritis yang nyaris tanpa jeda dihadirkan melalui media layar kaca.

Terkait dengan pemikiran Heidegger ini, penulis pernah menjumpai fenomena di lingkungan pembelajaran yang penulis kelola (LBTI) bahwa seorang pelajar yang notabene ABG lebih merasa terpinggirkan ketika ketinggalan perkembangan terbaru dunia selebritis ketimbang ketinggalan pelajaran di sekolahnya. Sehingga penulis berani menyimpulkan bahwa dunia selebritis dalam hegemoni media televisi memang menjadi salah satu parameter eksistensi seseorang dalam kehidupannya.

Bisa jadi, kita mengatakan pemikiran Heidegger di atas terlalu hiperbolis dan fenomena yang dijumpai penulis hanya sebuah pijakan simpulan parsial? Akan tetapi, andaikata kita sudi menilai secara jujur, bukankah itu yang sedang terjadi? Kehadiran nyaris tanpa jeda genre-genre acara yang menempatkan selebritis sebagai magnet penarik minat publik seperti infotainment cs, yang isinya tentu saja adalah mengumbar kehidupan pribadi sang selebritis, bukankah menjadi pilihan utama stasiun-stasiun televisi komersial di tanah air hari ini?

Waktu Itu Milik Selebritis

Jikalau kita cermati, berbagai tayangan infotainment menghiasi layar kaca rumah kita sejak pagi hingga malam hari. Pemirsa televisi dengan beragam latar belakang kesibukan memiliki diferensiasi waktu luang menikmati tayangan. Diferensiasi ini dibaca betul oleh pengendali program stasiun televisi sehingga melahirkan beragam tayangan infotainment dalam frekuensi waktu yang berbeda pula. Dengan kata lain, tayangan infotainment telah bertransformasi sebagai pengatur ritme waktu produktifitas yang mengendalikan rutinitas pemirsanya selama 24 jam.

Ibarat tayangan infotainment adalah secangkir kopi yang telah mencandui pemirsanya, media televisi telah mampu menyuguhkan kopi tersebut pada pagi hari, siang hari, sore hari, bahkan dini hari. Selebritis yang bagaimana yang dapat mengaduk kopi di pagi hari? Selebritis yang sedang dirundung masalah apa yang dapat menemani minum kopi di siang hari? Serta, selebritis yang menonjol tubuhnya di bagian apa yang dapat menghangatkan kopi di malam hari? Artinya, selebritis telah memiliki kemampuan luar biasa untuk memberikan warna bagi waktu pemirsanya.

Pada bagian ini, penulis memandang bahwa infotainment telah menjadi penguasa berwajah ideologi dan mistifikasi (glamour, hedonisme, instanst), melodramatis (putus cinta, perceraian, atau ditinggalkan orang-orang yang dicintainya), serta utopia (kesuksesan, kebahagiaan dan kenikmatan).

Ketika ideologi beraroma kapitalis telah menjustifikasi makna waktu pemirsa infotainment sebagai kerja keras untuk menumpuk modal ekonomi dan meraih profit-finansial secara maksimal, maka dalam terali ideologi selebritisisme yang bergulir adalah doktrin bagaimana membawa emosi pemirsanya. Mengingat emosi pemirsa merupakan komoditi yang dapat dikelola menjadi sumber pendapatan menggiurkan. Padahal di sisi pemirsanya, aksi bawa-membawa emosi ini pun dapat berimbas pada pembentukan karakter serupa seperti yang ditampilkan selebritis dalam pilihan perannya. Pemirsa pun berharap memiliki kulit, wajah, mobil, handphone, dll semulus apa yang dimiliki selebritis tersebut.

Mengapa Begitu Menggoda?

Jikalau infotainment dengan pernik-pernik pribadi selebritis di dalamnya dekat dengan aktifitas mendulang dosa seperti ghibah (bergunjing) dan fitnah, lalu mengapa begitu menggoda dan masih ditunggu pemirsanya? Mengapa publik tanah air justru luar biasa menyukainya?

Hal ini tak lepas kekuatan dan geliat industrialis media dalam mengolah strategi marketing. Ada empat strategi yang mereka gunakan guna mendongkrak penjualan dalam pasar tontonan, yaitu: (1) pemaksaan konsumsi; (2) segmentasi pasar; (3) refleksi dalam repetisi; dan (4) pendewaan bintang.

Pertama, pemaksaan konsumsi. Strategi ini berpijak pada langkah bagaimana menjadikan tayangan-tayangannya menjadi layak konsumsi dan wajib hukumnya untuk dikonsumsi publik. Nyaris tanpa jedanya tayangan infotainment membuat publik seakan tidak memiliki pilihan lain ketika memandang layar televisi. Hal ini secara tidak sadar melahirkan paradigma bahwa tayangan tersebut layak dan wajib untuk dikonsumsi, sebagaimana BBM, ataupun sembilan bahan pokok lainnya.

Kedua, segmentasi pasar. Media dalam pemerolehan dan pemeliharaan konsumennya senantiasa melakukan segmentasi terhadap konsumen sesuai dengan basis demografisnya, hal ini dilakukan untuk mengetahui apa dan bagaimana kebutuhan mereka. Cermati pada kesuksesan tayangan “Indonesian Idol” yang kemudian diikuti dengan tayangan “Idola Cilik”, sebagaimana tayangan “Uya Memang Kuya” yang diikuti dengan tayangan “Cinta Memang Kuya”.

Ketiga, refleksi dalam repetisi. Industrialis media melakukan repetisi dan imitasi tayangan yang mendulang rating penonton tinggi. Dengan kata lain, stasiun televisimelakukan pengulangan dan peniruan terhadap produk acara sejenis. Ketika TV 7 sukses mennggelar tayangan “Opera Van Java” maka AN Teve pun menelorkan tayangan “Seger Benerrr”.

Keempat, pendewaan bintang. Guna mendongkrak rating maka stasiun televisitak segan untuk memasang wajah selebritis yang sama yang tengah naik daun. Meskipun terkadang format tayangan acaranya berbeda genre. Sebagaimana wajah Aziz Gagap yang mengorbit lewat tayangan “Opera Van Java” yang notabene bergenre comedian show mendadak hadir dalam tayangan talk show “Beauty And Aziz”.

Empat jurus strategi marketing yang dilancarkan para industrialis media di atas memang hanya melahirkan siklus manajemen pemasaran yang bermuara pada popularitas semu sang selebritis? Satu nama selebritis datang dan pergi, dan mungkin beberapa tahun kemudian muncul kembali. Namun meskipun sesaat namun kenikmatan tersebut menyisakan limpahan finansial yang mungkin tidak tertandingi oleh penghasilan pekerjaan yang berbasis kesinambungan seperti pegawai, ataupun karyawan.

Di sinilah, ironi kemudian menggejala. Mayoritas generasi muda kita bermimpi menjadi selebritis, lebih mengedepankan hasil akhir dan meminggirkan proses. Enggan belajar dan bekerja keras namun berharap dapat meraih apa yang dicita-cintakan secara instant. Bahkan, banyak wilayah yang sebelumnya tidak bersentuhan secara intens dengan dunia showbiz pun beramai-ramai melakukan pembajakan identitas. Hari ini, aparat penegak hukum, pejabat, bahkan presiden pun bergaya dan berlaku ala selebritis. Pejabat negara hadir dalam talk show, upacara penguburan dan agenda negara menjadi live show, bahkan presiden pun melaunching album lagu.

Ada apa dengan selebritis?

************




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline