Lihat ke Halaman Asli

Pembelajaran Sastra Butuh Mak Erot

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pembelajaran Sastra Butuh Mak Erot

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Apabila pelajar SMA di Amerika Serikat telah membaca 32 judul buku selama tiga tahun masa pendidikannya, di Jepang dan Swiss 15 buku, sedangkan pelajar SMA di Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam telah membaca 5 – 7 judul buku sastra, bagaimana dengan pelajar SMA di Indonesia? Survey sederhana yang dilakukan Taufiq Ismail menunjukkan bahwa pasca era Algemeene Middelbare School (AMS), pendidikan lanjutan tingkat atas di masa penjajahan Belanda, pelajar SMA di Indonesia telah membaca 0 – 2 judul buku sastra saja. Padahal, pada era AMS tersebut, selama menempuh pendidikan pelajar diwajibkan untuk membaca 15 – 25 judul buku sastra.

Ironis sekali, kondisi minim literasi sastra pelajar SMA di Indonesia ini terjadi di negeri yang kaya dengan literasi sastra dan pada saat kita menikmati udara kemerdekaan. Semakin ironis, ketika menteri pendidikan yang baru lengser kemarin, Anton Soedibyo, nampak tekun sekali mempromosikan pendidikan kejuruan (SMK). Padahal, kita semua memahami bahwa dalam pendidikan kejuruan, orientasi pembelajaran terletak pada pengetahuan dan kemampuan bidang eksakta yang jelas tidak memasukkan pembelajaran sastra dalam kegiatan belajar-mengajarnya. Sedangkan, menteri pendidikan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, Muhammad Nuh, juga berniat ‘meLANJUTKAN’ program UNAS, bahkan bermaksud menggunakan hasilnya sebagai pijakan penerimaan mahasiswa baru. Sekali lagi, UNAS yang hanya bertumpu pada kemampuan menghitamkan lembar jawaban secara untung-untungan jelas tidak membutuhkan literasi sastra.

Selama ini, pengajaran sastra di lingkungan lembaga pendidikan cenderung menjadi pilihan ke sekian dari fokus arah dan strategi pengelolaan pembelajaran. Bila teater dan tari berdiri di lingkungan ekstrakurikuler, sangatlah wajar kalau mereka mendapat perlakuan ala Borjuis-Proletar. Tetapi, lukis dan sastra berada di lingkungan pembelajaran intrakurikuler, kenyataannya dua kutub kesenian dan kebudayaan ini juga menerima perlakuan yang sama. Tari di'okulasi'kan pada bidang studi Kertakes, sedangkan sastra terpaksa di'cangkok'kan pada bidang studi Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung dipandang sebagai 'tempelan' atau 'penggenap' yang eksistensinya terpinggirkan dan cenderung untuk ditiadakan oleh elemen-elemen lembaga pendidikan.

Beberapa tahun yang lalu, lingkungan pendidikan kita mengenal agenda Sastrawan Masuk Sekolah yang gencar digelar Depdiknas bekerja sama dengan Yayasan Indonesia dan Majalah Horison. Hari ini, agenda tersebut sudah tidak terdengar lagi gemanya. Agenda kegiatan yang mentransmigrasikan sastrawan-satrawan nasional semacam Taufik Ismail, Acep Zam Zam Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Radar Panca Dahana, ataupun Taufik Ikram Jamil ke dalam lingkungan lembaga pendidikan tersebut hari ini tenggelam dengan agenda-agenda pendidikan seperti SBI, RSBI, Kelas Akselerasi, Sertifikasi Guru, MBS, dan lain sebagainya. Mungkinkah karena founding-nya telah berakhir kontraknya? Bisa jadi, toh dalam pesta demokrasi 2009 kemarin juga sepi dari pengamat dan pengawas independen seperti KIPP ataupun JPPPR karena founding luar negerinya tersapu badai krisis global.

Mursal Esten pernah melansir pernyatan yang cenderung minor terhadap agenda Sastrawan Masuk Sekolah ini. Ada kekhawatiran dalam benak Esten, agenda tersebut hanya akan menciptakan ketertarikan pada ‘pesona’ figur sang sastrawan dari pada penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra. Menurut Esten, penjelajahan komunikasi imajinatif adalah roh mendasar kegiatan apresiasi teks sastra. Beberapa sastrawan di daerah juga menilai bahwa kehadiran sastrawan ke dalam lingkungan pendidikan hanya merupakan extravaganza. Karena, apresiasi teks sastra yang dilakukan hanya bersifat semu. Dengan kata lain, hal ini justru merupakan pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastra itu sendiri (Surabaya Post, 13/07/2005). Cucuk Suparno menyebut bahwa agenda penghadiran sastrawan ke sekolah justru hanya menjadi snobisme, yang mengagumi sastrawan ‘tertentu’ secara berlebihan yang nir esensi dari apresiasi sastra (Malang Pos, 08/03/2006).

Bertolak pada pendapat di atas, maka besar kemungkinan agenda transmigrasi sastrawan ke dalam lingkungan lembaga pendidikan sama halnya dengan promosi album band-band baru yang bergenre teenlit. Padahal sama halnya dengan musik, sastra juga memiliki kekayaan khazanah genre yang apabila pola transformasinya kepada pembaca pemula (pelajar SMA) tidak dilakukan secara holistik akan menimbulkan penyimpangan pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Mungkin saja, aspek pasar menjadi pertimbangan utama agenda ini namun bukankah ini pijakan kebijakan yang rapuh?

Jujur harus diakui, apresiasi sastra bukanlah suatu hal yang menarik dan serta-merta bisa dilakukan. Mengingat kondisi rendahnya budaya literasi masyarakat kita, dengan sendirnya tidak semua pelajar kita adalah ‘kutu buku’ dan ‘doyan’ baca teks-teks sastra. Beberapa fakta yang berkembang dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah adalah; pertama, kegiatan apresiasi sastra cenderung dianggap tidak memiliki prospek yang cerah di masa depan. Berbeda dengan kegiatan belajar Matematika atau Bahasa Inggris yang dianggap implementatif dengan nilai-nilai praksis lingkungan. Akibatnya, pelajar yang memiliki keseriusan dan intensitas tinggi dalam kegiatan apresiasi sastra justru mendapatkan cibiran, bahkan hambatan dari lembaga pendidikan itu sendiri (Baca “Sastra Berduka Di Sekolah”).

Conny Semiawan, guru besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini masih sangat terpengaruh dan mengikuti arus global sehingga penyelenggaraannya mengalami kekurangan dalam hal orientasi sasaran dan kesadaran terhadap potensi yang dimiliki. Termasuk di dalamnya potensi apresiatif terhadap sastra.

Kedua adalahtidak semua guru memiliki minat dan bakat dalam apresiasi sastra yang proporsional sejalan dengan tuntutan profesi. Jangankan mengelola pembelajaran sastra secara memikat, mengkaji teks-teks sastra untuk dirinya sendiri pun mayoritas guru di lingkungan lembaga pendidikan masih terhempas dan terputus. Imbasnya, peserta didik pun menjadi bulan-bulanan aksi pembodohan massal karena guru hanya sekedar memberikan seonggok hafalan teori sastra. Bahkan, penulis menjumpai fakta bahwa kompetensi dasar apresiasi sastra tak jarang justru dilewati lantaran prosentase kemunculannya dalam materi UNAS relatif kecil. Guru memilih mengorbankannya dengan pertimbangan kekhawatiran jebloknya perolehan nilai UNAS.

Ketiga, robohnya perpustakaan kami. Buku-buku di perpustakaan sekolah, terlebih buku-buku teks sastra, telah lama tidak mengalami perhatian serius dari pengelola lembaga pendidikan. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Depdiknas, memang terkesan enggan untuk membumikan sastra dalam lingkungan lembaga pendidikan. Meskipun jelas tidak akan diakui oleh kalangan birokrat di lingkaran kekuasaan pemerintah, mereka berasumsi bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap akselerasi pembangunan. Hal ini membuat dunia penerbitan buku (yang jelas mempertimbangkan untung-rugi) lebih memilih memilih mencetak buku paket dan LKS ketimbang buku-buku teks sastra. Perpustakaan sekolah pun bertahun-tahun hanya dihuni buku-buku teks sastra warisan orde baru yang sudah “basi” dan ketinggalan zaman. Adalah sebuah kewajaran apabila wawasan sastra guru dan pelajar masih berkutat di era “Siti Nurbaya”, “Layar Terkembang”, ataupun “Burung-Burung Manyar”. Ketika ada peserta didik yang ‘doyan’ baca teks sastra kemudian bertanya kepada guru tentang “Saman”, “Supernova”, “Ketika Cinta Bertasbih”, ataupun “Laskar Pelangi”, bisa jadi guru akan berkeringat dingin.

***

Peradaban yang terus menggeliat seiring globalisasi menuntut penempatan sastra materi sosialisasi yang urgen dalam lingkungan lembaga pendidikan. Mengapa? Karena karya sastra memiliki andil besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian individu. Tengoklah pengaruh Buku “Laskar Pelangi” dalam merekonstruksi paradigma mengajar guru hingga ketika diangkat ke layar lebar membuat sosok Cut Mini (pemeran Bu Maimunah) identik dengan guru dan dunia pendidikan. Buktinya, Depdiknas getol menggaetnya sebagai model iklan Sekolah Gratis.

Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat urgen. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.

Teks sastra selayaknya media pembedah-pencerah menguraikan kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi global kehidupan jelas bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh siapa pun, dimana pun, serta kapan pun. Selain dibutuhkan totalitas pemahaman dan penghayatan yang serius, membedah kandungan teks sastra tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Dalam pembimbingan apresiasi sastra di lingkungan lembaga pendidikan seyogyanya meninggalkan slogan dan retorika yang semata berbasis pencitraan. Apakah jika sastrawan kaliber nasional telah melakukan transmigrasi ke sebuah sekolah maka pelajar di sekolah tersebut mendadak piawai mengapresiasi teks sastra? Tentu saja, jawabannya tidak. Namun, bukan berarti haram untuk untuk dilakukan bukan?

Ketika kapasitas dan profesionalitas guru mulai ramai dipertanyakan oleh publik dan dianggap impoten dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi teks sastra kepada peserta didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke lingkungan lembaga pendidikan? Karena besar kemungkinan kehadiran sastrawan-sastrawan tersebut mampu menjadi ‘Mak Erot’ yang mampu menyembuhkan frigiditas sastra di sekolah dan merevitalisasi hasrat elemen-elemen sekolah dalam proses pembelajaran sastra. Dus, agenda Sastrawan Masuk Sekolah perlu kiranya dipahami sebagai bagian dari usaha mengembalikan vitalitas apresiasi sastra pelajar.

Kondisi tak terpungkiri bahwa pelajar kita lebih mengenal Miyabi dari pada puisi-puisi Sutardji Chalzoum Bachri seyogyanya tidak berlangsung lebih lama lagi.

***

Pendapat Mursal Esten dan Cucuk Suparno di atas yang mengkhawatirkan adanya penyesatan apresiasi sastra siswa oleh munculnya keterpesonaan kepada figur sastrawan dan memarjinalkan teks sastranya, memang boleh-boleh saja. Mengingat, tahapan pembelajaran yang paling awal adalah lakuan imitatif yang bersifat personal. Tak salah apabila pelajar memandang sastrawan bak seorang selebritis yang menaburkan mimpi kepada penggemar. Namun, andaikata sang sastrawan mampu hadir sebagai guru dan mengembangkan pola pembelajaran partnership yang berkesinambungan maka kehadiran mereka akan menjadi ‘Mak Erot’ yang mampu meningkatkan kembali vitalitas apresiasi sastra di lingkungan pendidikan yang telah bertahun-tahun mengidap impotensi.

Pada konteks inilah sastrawan dituntut perannya sebagai guru dan rekan diskusi yang aduhai. Sastrawan dituntut tidak hanya pandai menterjemahkan teks-teks sastra kepada guru dan peserta didik, mereka juga seyogyanya mampu melakukan transformasi nilai estetika dan gagasan yang terpancar dari teks-teks sastra sehingga membebaskan mitos sastra sebagai ‘dunia lain’ yang ‘menakutkan’ untuk dikunjungi.Pada episode inilah, sastra tidak semata dipahami sebagai produk budaya melainkan media pencerahan, layaknya kitab suci.

Merujuk pada asumsi hilangnya founding agenda Depdiknas, Yayasan Indonesia, dan Majalah Horison, tentu saja menghadirkan sastrawan-sastrawan ibu kota ke lembaga pendidikan di seluruh Indonesia adalah persoalan tersendiri. Persoalannya, dimanakah peran sastrawan lokal? Lantas, mengapa sekolah-sekolah yang ada di daerah tidak memiliki inisiatif sendiri untuk membangun sinergi dengan sastrawan di lingkungannya? Mungkinkah apresiasi sastra kita memang benar-benar impoten dan butuh sentuhan tangan cekatan Mak Erot?

************

*) Litbang LBTI, Anggota Teater Kopi Hitam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline