Lihat ke Halaman Asli

Dibalik Kisruh Tari Tor-Tor dan Gondang Sambilan

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari ribut caplok pulau hingga ribut curi-mencuri budaya, saga Indonesia-Malaysia yang seperti ini tidak pernah berakhir. Kali ini kisruhnya mengenai claim Malaysia atas kepemilikan budaya tari Tor-Tor dan Gondang Sambilan. Yang bikin seru justru masyarakat Mandailing sendiri yang meminta pemerintah Malaysia untuk memasukkan kebudayaannya kedalam warisan kebangsaan negeri Jiran tersebut. Lho, masak sih masyarakat Mandailing “menjual” budayanya sendiri ke negara lain?

Seperti dikutip Kompas, dalam sebuah acara himpunan anak-anak Mandailing di Batu Caves baru-baru ini, mereka meminta agar budaya tari Tor-Tor dan Gondang Sembilan dapat dilestarikan dengan dimasukkan ke dalam akta warisan budaya kebangsaan (Malaysia) tahun 2005. Mendengar aspirasi tersebut, Menteri Informasi, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Dr Rais Yatim yang hadir saat itu berencana untuk mendaftarkannya dibawah Section 67 UU tentang warisan budaya nasional tahun 2005.

Menurut sejarah, masyarakat Mandailing diketahui sudah berkelana dan bermukim di Malaysia sejak 200 tahun lalu. Integrasi yang berlangsung selama ratusan tahun membuat masyarakat Mandailing yang notabene sebagai “outsiders” ingin diakui dan dihargai kebudayaan lokalnya oleh pemerintah Malaysia. Akta warisan yang diduga sebagai alat claim Malaysia atas budaya Mandailing ternyata hanya sebuah pencatatan terhadap warisan budaya yang dimiliki orang-orang Malaysia keturunan Mandailing.

“Akta warisan kebangsaantersebut hanya mencatat asal-usul dan bukan untuk mengklaim bahwa budaya Mandailing berasal dari Malaysia,” jelas Kepala Bidang Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI untuk Malaysia, Suryana Sastradiredja, seperti dikutip Kompas. Pihak KBRI yang sempat bertemu Kementrian Malaysia, menjelaskan juga bahwa terjadi kesalahpahaman dan Malaysia tidak bermaksud mengklaim bahwa Tor-Tor dan Gondang Sembilan berasal dari Malaysia.

Harus Bangga atau Curiga?

Nah ini seperti bertanya apakah sebuah gelas itu half full atau half empty. Tapi yang jelas, dimana-mana yang namanya menjadi pendatang minoritas di sebuah komunitas itu selalu ada unsur “vulnerability.” Namun bila hak hidup dan budaya kita tercatat secara legal, maka ada jaminan dari negara yang menjamin perkembangan dan hidup suatu budaya disuatu wilayah.

Perbedaan pendapat mengenai kasus ini sebenarnya cukup wajar karena prinsip multikulturalisme yang ada di mindset orang Indonesia dan Malaysia sungguh berbeda dan ini juga dikarenakan faktor sejarah. Malaysia (mirip Australia dan Amerika) menjadi negara multicultural karena banyaknya pendatang, terutama mayoritas imigran Cina dan India. Indonesia menjadi negara multiculturalkarena segi geografis (Archipelago, Luas Wilayah dan Terpisah Berbagai Pulau) yang mengakibatkan setiap penduduk lokal memiliki kebudayaan yang berbeda.

Bagi Malaysia, menjadi bagian dari warisan kebangsaan adalah wujud hormat dan perlindungan terhadap setiap kebudayaan (baik lokal maupun luar) yang berkembang di Malaysia. Jadi ketika tari Tor-Tor diperagakan, Malaysia hanya mendapat “credit” dalam mengayomi/mengembangkan, karena identitas Sumatera Utara tetap diperkenalkan dan dipertahankan saat pentas. Tor-Tor tidak sendirian karena bila ditilik ke situs warisan kebangsaan Malaysia, Chinese Opera sudah ada sebelumnya dan tentunya tak lupa disebutkan bahwa asalnya dari Cina, bukan Malaysia.

Dan disinilah kebanyakan kita bertanya, “kalau sekadar toleransi/pengayoman/pengembangan mengapa perlu dicatat secara hukum?” Disinilah bedanya mindset Indonesia dari Malaysia. Kita memiliki Pancasila dan mereka tidak . Pancasila itu bagus karena memiliki spirit multiculturalisme seperti sila 5 yang berkata “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Namun sebuah ideologi yang bagus tanpa diaplikasikan kedalam sistem hukum yang jelas, hasilnya nol besar.Mungkin ini salah satu alasan mengapa ketika masih dibawah Pancasila, rezim Orde Baru bisa melarang aktivitas literatur dan budaya masyarakat Tionghoa saat itu dan berakhir setelah mantan Presiden K.H Abdurahman Wahid melakukan reformasi hukum dan mengangkat racial ban yang ada. Kembali, ini terjadi karena Gus Dur mengaplikasikan Pancasila melalui penegakan sistem hukum.

Jadi sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan selama Indonesia memiliki kejelasan sejarah, status hukum dan pengakuan yang jelas mengenai budaya lokalnya. Lewat kasus ini, terkuak juga bahwa tarian Tor-Tor belum pernah didaftarkan pemerintah Indonesia sebagai warisan budaya nasional. Wajar saja kalau kebakaran jenggot. Seandainya Malaysia tidak “menyulut api” seperti sekarang, akankah pemerintah kita tiba-tiba peduli dan langsung buru-buru mendaftarkannya sebagai warisan budaya nasional dan UNESCO? I doubt. Benar seperti pendapat Sri Sultan Hamengkubuwono X yang mengajak pemerintah untuk instropeksi.

"Kita sendiri tidak memperdulikan budaya sendiri," ujar Sultan.

Namun Indonesia sebenarnya tidak perlu takut kebudayaannya dapat diklaim negara manapun. Dilihat dari track record sebelum-sebelumnya seperti kasus tari Reog Ponorogo dan Pendet bahkan soal batik, Indonesia buktinya toh selalu menang. Malahan kita seharusnya bangga karena selain memperkaya bangsa lain (melalui perantau), budaya kita diakui dan dilindungi aktivitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline